Filsafat sebagai
induk pemikiran ilmiah selalu berada dibelakang kemajuan suatu peradaban.
Langkah ini dimulai dengan cara coba-coba (trial
and error). Cara ini membimbing manusia pada kemampuan menemukan
pengetahuan ilmiah yang melibatkan observasi dan eksperimen.
Lambat laun
perkembangan ilmu filsafat pun semakin pesat, perkembangan
filsafat terdiri dari 5 periode yaitu: 1) periode yunani 2) periode Helenitas
dan Romawi 3) periode Patristik 4) periode Islam 5) periode Skolastik 6)
periode abad pertengahan 7) periode modern 8) periode baru.
1.
Periode
Yunani (600 SM–322 SM)
Pada zaman
yunani kuno terdapat 3 masa perkembangan yaitu masa awal, masa kaum sofis serta
masa keemasan. Pada masa awal ini, filsafat hanya membahas tentang alam dan
kejadian alamiah terutama dalam hubungannya dalam perubahan-perubahan yang
terjadi. Namun mereka yakin bahwa perubahan-perubahan ini terdapat suatu unsur
yang menentukan, tapi mereka punya perbedaan pendapat tentang perbedaan
unsur-unsur tersebut. Seperti Thales menyebutnya unsur air, Anaximandros dengan
unsur yang tidak terbatas (to apeiron), Anaximenes dengan unsur udara.
Anaximandros dan anaximenes adalah kedua murid Thales namun berbeda pendapat
dalam pemahamannya tentang unsur-unsur tersebut. Selanjutnya Heraklitos mengatakan
unsur tersebut adalah api, menurutnya api adalah lambang perubahan. Karena
tidak ada didunia yang tetap, definitf dan sempurna, tetapi berubah. Segala
sesuatu berada dalam status “menjadi” kemudian berubah.
Pemikiran
Phytaghoras berbeda dengan filosof pada masanya kecuali Anaximandros dalam
memahami unsur tersebut. Menurutnya unsur tersebut tidak dapat ditentukan
dengan pengenalan indrawi, melainkan dapat diterangkan dengan perbandingan
dasar antar bilangan, karena Phytaghoras terkenal sebagai pengembang ilmu pasti
dengan dalil terkenalnya yaitu “dalil Phyitaghoras”. Perminides dari Elea
mengemukakan unsure “metafisika”, yaitu mempersoalkan “ada” yang berkembang
menjadi “yang ada, sejauh ada” (being as being, being as such). Dari yang ada,
ada,dan yang tak ada, mempunyai arti bahwa prulalitas itu tidak ada.
Filosof
berikutnya kembali kepada pengalaman indrawi, antara lain Demokritos dan
Leucippus yang bersama-sama memuat teori “atomisme”. Mereka berpendapat bahwa
segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak bisa
dibagi-bagi lagi, meskipun bentuk atom itu sendiri sangat kecil dan tidak
Nampak oleh indra namun atom selalu bergerak membentuk realitas yang tampak
oleh indra manusia.
Di lanjutkan
pada masa kaum sofis, yaitu kaum yang pandai berpidato yang tidak lagi menaruh
perhatian utama kepada alam, tetapi menjadikan manusia sebagai pusat perhatian
studinya. Tokohnya adalah Protagoras, dia memperlihatkan sifat-sifat
relativisme (kebenaran bersifat relative), tidak ada kebenaran yang tetap,
umiversal dan definitif. Benar, baik dan bagus selalu berhubungan dengan
manusia, tidak manidiri sebagai kebenaran mutlak.
Selanjutnya
adalah masa keemasan filsafat di Yunani yang dintadi dengan Socrates
(470SM-399SM) yang menentang kaum sofis yang mengatakan
bahwa kebenaran adalah sifatnya relative dan tidak mutlak. Namun menurut
Socrates, kebenaran itu sifatnya mutlak, universal dan obyektif yang harus
dijunjung tinggi oleh semua orang. Metode yang digunakan olehnya adalah dengan
bertanya secara radikal dan kritis kepada orang yang bersangkutran sampai orang
yang ditanya dapat menemukan apa yan baik dan benar didalam dirinya sendiri.
Keberanian, kejujuran dan keteguhannya dalam bersifat harus dibayar mahal
olehnya dengan meminum racun sebagai hukuman mati karena dia dianggap
menyebarkan kesesatan dan merusak moral pemuda dan masyarakat saat itu.
Dari caranya berfilsafat,
ia mengembangkan secara de facto menjadi suatu metode yang dikenal dengan
metode Induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dari peristiwa khusus yang
diambil cirri-ciri khususnya kemudian dicari cirri-ciri umumnya hingga
memperoleh suatu definisi terhadap sesuatu.
Jasa Socrates
yang paling besar adalah mengembalikan tradisi filsafat Yunani
yang sempat digoyahkan oleh kaum sofis. Socrates
mempunyai murid dari kalangan bangsawan Yunani
bernama Plato (427SM-347SM). Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut
Akademia. Dia mengubah metode Socrates menjadi teori Idea. Menurutnya idea
adalah bentuk mula jadi atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut
prototypa, sedangkan benda individual dunia hanya merupakan bentuk tiruan yang
tidak sempurna/kekal. Oleh karena itu dalam filsafatnya plato menentang
realisme karena yang dianggap benar menurut realisme adalah yang dapat diindra dan
ada begitu saja, tapi kata plato obyek tersebut sebenarnya sudah ada di dalam
idea yang nyata sedangkan objek duniawi
hanyalah tiruan dari dunia idea saja. Gagasan plato ini banyak memberikan dasar
pada perkembangan logika.
Namun demikian
logika ilmiah sesungguhnya baru saja terwujud oleh muridnya yaitu Aristoteles
(384SM-322SM), karena dia lebih sistematis dalam berfilsafat. Dalam berfilsafat
dia menggarap masalah kategori, struktur bahasa, hokum formal konsistensi
proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, perbedaan atribut hakiki
dengan bukan hakiki, kesatuan pemikiran, metode berdebat, kesalahan berpikir
sampai menyentuh bentuk-bentuk dasar simbolisme.
2.
Periode
Helenitas-Romawi
Masa ini tidak
lepas dari peranan Raja Alexander Agung, uang membuat kebudayaan yunani menjadi
kebudayaan Helenitas. Diera ini dibuka juga sekolah-sekolah baru mengalahkan
Akademia plato dan Lykeion aristoteles, sehingga memunculkan banyak
aliran-aliran baru seperti stoisisme, epikurisme, skeptisisme, ekletisisme, dan
neoplatoisme.
Stoisme adalah
mazhab yang didirikan oleh Zeno dari kition di Athena sekitar 300 SM. Nama
“stoa” mengacu dari serambi bertiang empat tempat Zeno mengajar. Menurut
stoisme jagat raya di ditentukan oleh “logos” yang berarti rasio dengan begitu
seluruh kejadian jagat raya ini telah ditentukan dan tidak bisa dielakan dan
jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu mengenali jagat raya.
Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana jika menggunakan rasionya dalam
mengendalikan diri nafsu-nafsunya secara sempurna. Mati dan hidup merupakan
kejadian yang sudah ditentukan dan sifatnya mutlak.
Epikurisme
dibangun epikueros (341SM-270SM) yang kembali memunculkan “Atomisme demokritos”
bahwa segala hal terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan bertabrakan
secara kebetulan sehingga terciptanya segala sesuatu. Dalam ajarannya terhadap
manusia, dia berpendapat manusia bisa bahagia jika mengakui susunan dunia ini
dan tidak ditakut-takuti oleh dewa. Dengan begini manusia bebas dalam
berkehendak untuk mencari kesenangan sepuas-puasnya tanpa harus memperdulikan
dewa. Namun jika kesenangan yang manusia dapat terlalu banyak maka ia akn
gelisah dan tidak tenang, oleh karena itu yang manusia itu sendiri harus bisa
membatasi diri dalam mencari kesenangan itu sendiri agar memperoleh kesenangan
yang hakiki yaitu kesenangan rohani.
Skeptisisme
dipelopori oleh Pyrrho (365SM-275SM), aliran ini mengajarkan keragu-raguan dan
kesangsian terhadap sesuatu yang ada, walaupun sesuatu itu nyata adanya. Karena
mereka menyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai bisa menemukan
kebenaran yang mutlak.
Ekletisisme,
Cicero (106SM-43SM). Aliran ini hanya sebagai penengah berbagai aliran filsafat
bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan namun tidak sampai
menggabungkan segala aliran filsafat itu kedalam satu pemikiran namun hanya
menggunakan aliran-aliran tertentu pada kondisi tertentu dan tidak memihak
kepada aliran apapun.
Neoplatoisme,sesuai
dengan namanya aliran ini mencoba menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi
dipengaruhi juga oleh aliran filsafat setelahnya seperti Aristoteles dan Stoa,
oleh karena itu tidak lah heran jika aliran ini mensintesiskan semua aliran
filsafat saat itu. Tokoh nya adalah Plotinos, aliran ini mengajarkan tentang
hakikat adanya “yang satu” ayitu Allah. Artinya semuanya berasal dan kembali
kepada “yang satu” sehingga menimbulkan gerakan dari atas kebawah dan dari
bawah ke atas. Pada gerakan dari atas ke bawah, artinya taraf yang paling tinggi
yaitu Allah mengelurkan taraf-taraf yang ada di bawahnya
melalui jalan emanasi yang berarti tidak merubah dan mengurangi kesempurnaan
“yang satu”. Prosesnya adalah seperti ini, dari yang satu dikeluarkan akal budi
sesuai dgn gagasan Plato. Di dalam
akal budi ada dualitas yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan. Dari akal
budi melahirkan jiwa dunia (psyche) dan darinya dikeluarkan materi (hyle)
bersama dengan psykhe terciptalaj jagat raya. Sebagai taraf terendah, materi
yang palin tidak sempurna dan merupakan pusat kejahatan.
Pada gerakan
dari bawah keatas, setiap taraf-taraf yang dikeluarkan yang satu akan kembali
menuju Allah, karena manusia memilii tiga taraf(akal budi, psyche, dan hyle)
maka hanya manusialah yang mampu kembali pada yang satu. Cara kembalinya ada
tiga cara yaitu: penyucian manusia dari materi ketika bertapa, penyatuan
manusia dengan tuhan melebihi pengetahuan dan eksistensi.
3.
Periode
Patristik
Istilah
patristic berasal dari kata latin “patres” yg berarti bapak dalam lingkungan
gereja. Dalam era ini, filsafat mulai disusupi oleh teologi kristiani, bahkan
terjadi pertentangan juga dikalangan para pemuka agama Kristen ini dalam
menanggapi filsafat. Ada tiga pendapat para bapak gereja dalam menanggapinya,
pertama,setelah adanya wahyu ilahi melalui roh kudus seharusnya pemikiran
filsafat di stop bahkan dihilangkan sama sekali karena dianggap menyalahi
alkitab dan dianggap “kafir”. Kedua, berusaha untuk menengahi dan menggabungkan
kedua pemikiran tersebut. Ketiga, filsafat merupakan langkah awal menuju
pemahaman agama yang harus diterima dan dikembangkan.
Tokoh utama
dalam filsafat ini adalah Augustinus, ia
mengatakan bahwa pemikiran merupakan integrasi dari teologi Kristen dan
pemikiran filsafatnya dan filsafat itu sendiri tidak bisa lepas dari iman Kristen.
Inti dari filsafat ini hanya membahas 2 aspek yaitu tuhan dan manusia. Oleh
karena itu maka pembahasannya mencakup hal-hal yg berhubungan dengan manusia,
kepribadian, kesusilaan dan sifat-sifat tuhan. Menurutnya manusia tidak akan
sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (lumens)
dari Allah, meskipun demikian dalam diri manusia sendiri sudah tertanam benih
kebenaran yang merupakan pantulan terang allah sendiri yaitu hati nurani.
Sebenarnya para
bapak gereja menggunakan pemikiran filsafat adalah guna memudahkan agama
Kristen diterima oleh manusia dan mengembangkan agama Kristen itu sendiri.
Namun pada pelaksanaannya agama Kristen itu sendiri yang mengurung dan
mengekang pola pikir manusia dalam berfilsafat karena jika ada pemikiran yang
ridak sesuai dengan alkitab maka akan langsung dihukum. Dari situlah nantinya
akan muncul sekulerisme dikalangan eropa pada abad pertengahan yang memisahkan
antara agama dan filsafat bahkan mereka melawan ajaran-ajaran Kristen dan
menjadikan akal sebagai tuhan.
4.
Periode
Islam
Filsafat Islam
muncul akibat imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran buku-buku peradaban
Yunani dan peradaban lainnya pada masa
Daulat Abbasyiah
dimana pemerintah memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan
kedalam bahasa Arab ini, dan prestasi yang paling spektakuler adalah ulama
berhasil menerjemahkan ilmu filsafat sebagai mascot peradaban Yunani saat itu,
baik Socrates, plato, Aristoteles maupun lainnya.
Namun Filsafat
Islam bukanlah filsafat Aristoteles atau Plato yang di bahasa arabkan, akan
tetapi independen yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
filsafat Yunani. Hal ini dibuktikannya dari upaya para ahli ilmu kalam antara
mu’tazilah dengan asy’ariah yang menjelaskan bahwa agama Islam adalah agama
yang rasional sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan. Dan
adanya batasan filsafat masuk ke dalam agama yaitu filsafat tidak boleh dan
haram hukumnya mengobrak-abrik akidah agama Islam, namun hanya boleh menguatkan
akidah dengan cara memikirkan makhluknya saja dan tidak boleh memikirkan
tentang dzatnya Allah Swt.
Tokoh-tokoh
filosof ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd (averros), Ibnu Sina (Avicenna),
dan Al-Farabi. Imbas filsafat masuk ke lngkungan Islam adalah munculnya
ilmu-ilmu pengatahuan baru seperti ilmu falak, astronomi, pengobatan bahkan
para ulama ahli dalam bidang tersebut berhasil membuat karya yang sangat
berguna bagi manusia sampai saat ini. Bahkan inu sina dan ibnu rusyd terkenal
di barat sana namanya.
5.
Periode
Skolastik
Filsafat ini mempunyai
corak semata-mata agama yang mengabdi kepada teologi yang mencoba mensintesa
kan antara kepercayaan dan akal. Berbeda dengan patristic, skolastik hanya
mengkaji teologi dan menggunakan filsafat sebagai pembuktiannya.
Tokohnya adalah
Thomas Aquinas (1225-1274M), menurutnya pengetahuan didapat melalui indra dan
diolah akal tapi akal tidak mampu mencapai relitas tertinggi yang ada pada
daerah tuhan. Filsafat inilah yang bisa memperkuat
dalil-dali agama guna lebih mengabdi kepada tuhan.
Pembuktian Aquinas
tentang adanya tuhan, pertama, dari sifat alam ini
yang selalu bergerak dengan teratur membuktikan bahwa ada yang mengatur semua
ini yaitu tuhan. Kedua, allah itu maha besar, sehingga tidak terpikirkan
sesuatu yang lebih besar lagi. Ketiga, hal yang terbesar tentulah berada dalam
kenyataan karena apa yang ada dalam pikiran saja tidak mungkin lebih besar.
Keempat, allah tidak hanya berada dalam pikiran tetapi dalam kenyataan juga,
jadi Allah benar-benar ada.
Pandangan etika
Aquinas menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Dasar
kebaikan adalah kemurahan hati yang lebih dari sekedar kedermawanan dan belas
kasih melainkan terdapat didalam jiwa yang penuh cinta. Cinta kepada tuhan yang
harus diutamakan baru cinta kepada sesama manusia.
6.
Periode
Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan ini, masyarakat terutama di eropa mulai bosan dengan pembatasan
pemikiran mereka terhadap sesuatu oleh gereja. Karena setiap ada suatu pendapat
atau pemikiran yang tidak sesuai dengan paham gereja makan akan di kenakan
hukuman dan di cap sebagai “kafir” oleh gereja.
Akhirnya manusia
mulai mencoba memisahkan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Disini mulai
adanya pencarahan dan kebebasan berpikir manusia dalam mencari suatu kebenaran.
Namun dimasa ini filsafat masih jatuh bangun dari hasrat radikalisasi
pemikirannya. Karena pada saat ini manusia masih mebutukan agama dan bimbingan
gereja untuk menjalani hidup yang damai dan memperoleh ketenangan yang hakiki.
7.
Periode
modern
Setelah hampir
sepuluh abad Eropa diselimuti paham teologis yang memanipulasi kebenaran dan
mematikan pemikiran bebas. Akhirnya munculnya suatu gerakan cultural yang bertujuan menggulingkan
paham gereja yang selama ini mengekang mereka dalam mencari kebenaran dan
berpikir bebas, gerakan ini disebut “renaisans” yang artinya kelahiran kembali.
Semangat renaisans ini menimbulkan rasa kepercayaan pada otonomi manusia dalam
mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan yang tadinya tidak berkembang akibat
dominasi gereja mulai berkembang dengan pesatnya dimasa renaisans.
Kebenaran tidak
lagi bersumber dari alkitab tetapi pada pengalaman empiris dan perumusan
hipotesis yang rasional. Oleh karena itu, sumber pengetahuan hanya apa yang
secara alamiah dapat dipakai oleh manusia yaitu, akal (rasio) dan pengalaman
(empiris). Maka pada abad ini muncul dua aliran yang saling bertentangan yaitu
antara aliran rasionalisme dan aliran empirisme. Perdebatan antara kedua aliran
ini terus berlangsung dan mempengaruhi pemikiran filsafat setelahnya.
Tokoh dari
aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650), aliran ini menyatakan
bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio, hanya
pengetahuan yang diperoleh akalah yang memenuhi syarat untuk dijadikan sumber
pengetahuan. Pengalaman inderawi selalu diragukan, selalu berubah dan tidak
pasti. Bisa saja kursi yang kita duduki adalah tidak nyata dan hanya mimpi
belaka. Bahkan dia sendiri meragukan
akan kebenaran adanya dirinya sendiri. Makanya munculah “karena saya berpikir
maka saya ada”. Kaum rasionalis selalu meragukan segala sesuatu dan tidak
percaya akan pengalamannya sendiri. Pengalaman hanya bisa dipakai untuk
meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Akal tidak memerlukan
pengalaman, karena akal mampu menurunkan kebenaran dari akal sendiri. Dan
metode yang digunakan adalah deduktif. Namun meskipun begitu, Descartes tidak
menafikan tentang adanya tuhan karena menurut dia tuhan adalah “matematikawan
agung” yang begitu rasional dalam menciptakan dunia ini secara terstruktur
dan wajib ditemukan oleh akal manusia
dalam penciptaannya itu.
Aliran empirisme
dengan tokohnya adalah David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa, pengalamanlah
yang menjadi sumber ilmu pengetahuan baik pengalaman batiniah maupun lahiriah.
Akal hanyalah mengolah bahan-bahan pengalaman yang diperoleh inderawi. Karena
tidak ada satupun ada dalam pemikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada
data-data inderawi. Contohnya, kita tidak akan mengetahui bahwa api itu panas
jika kita sendiri belum mencoba dan membuktikannya bahwa api itu panas. Oleh
akal lalu disimpilkan bahwa api itu panas. Lalu munculah pengetahua baru
berdasarkan pengalaman. Metode yang digunakan adalah induktif.
8. Era baru dimulai
Era baru ini
dimulai dengan “Kritisisme” Immanuel Kant (1724-1804) yang berusaha mendamaikan
antara aliran rasionalisme dan empirisme. Ia mengatakan bahwa pengenalan
manusia merupakan perpaduan antara unsur a priori dengan
unsur aposteriori. Kant berpendapat bahwa pada taraf inderawi unsur apriori
hanyalah kesan yang diterima oleh inderawi sebagai gejala-gejala. Kemudian
data-data inderawi tersebut diolah oleh sesuatu yang disebut “akal budi”. Peran
akal budi disini adalah memberi putusan-putusan yang kemudian ditransmisikan
kedalam otak. Dan oleh otaklah yang akan memilih dan mengesahkan
putusan-putusan yang dibuat akal budi. Ibaratnya pengalaman adalah suatu soal
pilihan ganda, pilhan-pilihan ganda itu adalah putusan-putusan yang dibuat akal
budi kemudian yang bertugas memilih jawaban yang paling benarnya adalah rasio
kita.
Selanjutnya
adalah Idealisme yang Tokohnya adalah G.W.F. Hegel (1770-1831). Menyatakan
bahwa “setiap Tesa pasti ada Antitesa nya dan dari keduanya akan mengahasilkan
Sintesa yang memiliki gabungan sifat dari tesa dan antitesanya tapi sintesa
bukanlah tesaaupun antitesa”. Sebagai contohnya, suatu golongan menginginkan
Negara menguasi segala urusan agama. Pandangan ini mempunyai dampak positif yaitu
adanya kesatuan antara kekuatan dan kekuasaan politik karena tidak ada batasan
agama sehingga ketertiban suatu Negara bisa terwujud, ini yang disebut tesa.
Antitesa dari pernyataan ini ialah kebebasan agama ditiadakan karena agama
harus tunduk kepada pemerintah. Lalu sintesa bagi kedua pendapat tersebut
adalah memisahkan antara agam dan pemerintah, baik agama maupun pemerintah
harus diberi bagiannya masing-masing, sehingga ketertiban nasional terjamin dan
kebebasan agama pun terjamin juga karena tidak tercampur antara kepentingan
agama dengan kepentingan politik.
Era ini
dilanjutkan dengan munculnya paham Positivisme yang dipopulerkan oleh Auguste
Comte (1798-1857). Dia menganggap hukum-hukum
alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai
dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan
social dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan
hokum-hukum itu. Sehingga Auguste comte menemukan ilmu baru tetntang masyarakat
yaitu “sosiologi”. Positivism erat kaitannya dengan empirisme namun berbeda
dengan empirisme yang menjadikan pengalaman batiniah dan lahiriah sebagai
sumber pengetahuan. Positivism hanya mengambil yang berdasarkan fakta
saja.sebagai contoh, air mendidih 100° C dan besi ini panjangnya 10 meter.
Ukuran-ukuran ini perasional, kuuantitatif dan tidak mungkin adanya perbedaan
pendapat. Positivisme merupakan aliran tertinggi dari kehidupan manusia karena
manusia tidak perlu lagi mencari penyebab-penyebab dari suatu fakta. Manusia hanya
berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang
terdapat antara fakta-fakta. Dan disinilah ilmu pengetahuan dalam arti yang
sebenarnya.
Aliran yang
muncul kemudian adalah Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938),
inti filsafatnya adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar seseorang
harus kembali kepada “benda-benda” sendiri yaitu hakikat dirinya sendiri. Akan
tetapi benda-benda itu tidak langsung memperlihatkan
hakikat sendirinya, karena pemikiran pertama tidak membuka tabir yang menutupi
hakikat maka diperlukannya pemikiran kedua yang berupa “intuisi”. Dalam
menggunakan intuisi digunakan suatu metode yang disebut reduksi yaitu
penempatan sesuatu di antara
dua kurung. Maksudnya, melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk
sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa
bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Tujuannya adalah menemukan
bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Namun
fenomenologi mempunyai kelemahan karena dalam menentukan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh
apapun, tapi fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang
diperoleh tidak bebas nilai tetapi bermuatan nilai
dengan kata lain status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif.
Aliran
selanjutnya adalah Eksistensialisme, tokohnya adalah Friedrich Wilhelm
Nietzsche (1844-1900). Gagasan utama dari dia adalah kehendak berkuasa (will to power) dimana ditunjukan
menjadi ubermensch atau manusia
super. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri
tanpa berpaling dari dunia dan menengok kesebrang dunia, dengan kata lain tidak
lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. Sedangkan
eksistensi itu sendiri adalah cara manusia berada didalam dunia dan
keberadaannya karena setiap orang mempunyai tempatnya sendiri dalam kehidupan
ini yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jadi jangan menghendaki
sesuatu yang melebihi kemampuanmu, karena melakukan sesuatu yang melebihi
kemampuan sendiri mengandung cirri kepalsuan yang menjijikan. Doktrin aliran
ini adalah “eksistensi mendahului esensi” yg berarti setelah manusia berada
didunia ini, di sendiri yang harus menentukan siapa dirinya ini. Karena pada
awalnya manusia bukanlah apa-apa tanpa bereksistensi.
Cara mencapai
manusia super adalah dengan cara mereka harus berani menghadapi kehidupan ini
baik saat bahagia maupun sedih. Mereka harus cerdas dalam menjadikan
penderitaan itu sebagai titik balik untuk memunculkan potensi maksimal dirinya,
terakhir dia harus bangga terhadap potensi apa yang dimilikinya.
Logika
dan Mantiq
Keistimewaan
manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran. Maka
manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada yang
mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal
dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang
bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat.
Berbagai
kenyataan di lapangan yang ditemukan penulis seputar berpikir kritis, analitik,
dan logic, jauh dari harapan penulis bagi sebuah masyarakat modern yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kebutuhan dalam
kehidupannya.
Islam sebagai
agama yang menjunjung tinggi akal pikiran benar-benar menganjurkan ummatnya
untuk melakukan apapun dengan landasan ilmiah yang memiliki akurasi data yang
baik, dan benar. Sehingga
ditemukan pemahaman “BAL” dalam bertindak; Benar-Akurat-Lengkap. Filsafat
melalui salah satu cabangnya, memberikan jalan keluarnya dengan istilah logika
yang juga banyak dikenal di dunia Islam dengan istilah mantiq, yang juga
memiliki cabang alat berfikir runtut yang dikenal dengan silogisme.
1. Pengertian
Ilmu merupakan satu
kata yang memiliki banyak arti. Ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang
diketahui dan yang dipercayai secara pasti dan sesuai dengan kenyataan yang
muncul dari satu alasan argumentasi dalil. Selain itu ilmu juga berarti
gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu. Seperti kambing, kuda dan
lain-lain. Jika kambing disebut maka muncullah gambaran pada akal dengan
sendirinya. Ilmu seperti ini disebut ilmu tashawwur. Diantara fungsi ilmu ialah
untuk menelusuri segala sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya atau tidak.
Pada dasarnya
pengertian ilmu mantik telah banyak didefinisikan oleh para Ulama’, dan pakar
ilmu mantik dengan pengertian yang beragam, meskipun pada hakikat dan tujuannya
adalah sama yaitu mengungkapkan makna mantik sebagai suatu kata yang dibakukan
untuk sebuah disiplin ilmu. Ilmu mantik meruakan bahasa arab dan meruakan
terjemahan dari kata logika, oleh sebab itu ilmu mantik juga bisa disebut
sebagai ilmu logika. Dalam kaitaannya dengan pengertian ilmu mantik, seperti
yang telah penulis kutip dari bukunya Prof. Dr. H. Baihaqi A.K, yang berjudul
“Ilmu Mantik”: Teknik berfikir logik”, dalam bukunya tersebut, Baihaqi
mengungkapkan bahwasannya ilmu mantik adalah merupakan suatu ilmu yang membahas
tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia dalam berfikir, supaya
dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga dia terhindar dari kesalahan
berfikir, yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah dan keliru.
Sedangkan mantiq
secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa arab
“nataqa” yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin “logos” yang
berarti perkataan atau sabda.
Pengertian mantiq
menurut istilah ialah:
a.
Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan
berpikir.
b.
Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula
berfikir sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang
salah.
Ilmu mantiq sering
disebut bapak segala ilmu atau dikatakan ilmu dari segala yang benar karena
ilmu mantiq ialah sebagai alat untuk menuju ilmu yang benar, atau karena ilmu
yang benar perlu pengarahan mantiq.
2. Pembagian Ilmu
Telah kita bahas di
awal bahwa yang dimaksud tashawur ialah gambaran yang ada pada akal manusia
secara langsung dengan sendirinya tanpa membebani dengan sifat atau hukum lain.
Tashwur ada dua macam:
a.
Tashwur yang tanpa penisbahan hukum yang berdiri sendiri
atau tunggal/mufrad. Tasawwur ini disebut tashawur asli (sadz).
Tashawur ashli
meliputi tiga bentuk:
1)
Bentuk makna mufrad. Seperti manusia, kayu, batu, besi,
dan lain-lain.
2)
Bentuk murakkab, idhafah, seperti kebun binatang, sepatu
gajah dan lain-lain.
3)
Bentuk sifat-sifat murakkab, seperti manusia yang
berfikir, hewan yang berakal dan lain-lain.
b.
Tashwur yang mempunyai nisbah hukum yang demikian, disebut
tashdiq. Contohnya seperti manusia itu penulis, bunga itu bagus. Yang dimaksud
hukum disini ialah tersandarnya sesuatu pada yang lain. bisa berbentuk ijab
atau mujabah atau berbentuk salibah.
c.
Al-nisbah al-Hukumiyah, yakni, hubungan antara Mahkum
alaih dengan mahkum bih. Mahkum Alaih: Al-Hukmu, yakni adanya penisbahan atau
tercabutnya ) tidak adanya).
3. Sejarah Singkat
Logika (mantiq)
sebagai ilmu di Yunani pada abad ke 5 SM oleh para ahli filsafat kuno. Dalam
sejarah, telah tercataat bahwa pencetus logika ialah Socrates yang kemudian
dilanjutkan oleh Plato dan disusun dengan rapi sebagai dasar falsafat oleh
Aristoteles. Oleh sebab itu beliau dinyatakan sebagai guru pertama dari ilmu
pengetahuan.
Pada masa
selanjutnya, terdapat perubahan-perubahan seperti yang dilakukan oleh
Al-Farabi, salah satu filsuf muslim yang sering dinyatakan sebagai maha guru
kedua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ilmu mantik dipelajari lebih
rinci dan dipraktekkan, termasuk dalam pentasdiqan qadhiyah.
Tokoh-tokoh
lagika/ilmu mantiq kaum muslim yang tercatat oleh para pakar-pakar di
antaranya: Abdullah Ibn Al-Muqaffa, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Kindi, Ibnu Sina, Abu
Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdillah
Al-Khawarizmi, Al-Tibrisi, Ibnu Bajah, Al-Asmawi, As-Samarqandi, dan lain
sebagainya.
Ilmu mantiq banyak
membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Seperti yang
dilakukan Immanuel kant, Descartes, dan yang lainnya.
4. Manfaat/Kegunaan
Kegunaan yang
sangat Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat berfikir dengan benar
hingga sampainya seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa mempertimbangkan
kondisi dan situasi yang kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang.
Jika demikian,
kesimpulannya ialah setiap orang harus mempelajari ilmu mantiq agar dalam
mengambil kesimpulan seseorang tak lagi salah. Ilmu mantiq yang menuntun mereka
untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Karena bisa saja seseorang melakukan
kesimpulan yang benar tanpa melalui ilmu mantiq. Itu mungkin saja kebetulan,
karena yang dapat menghasilkan kesimpulan atau hasil akhir yang benar adalah
ilmu mantiq. Oleh sebab itulah ilmu mantiq disebut sebagai jembatan dari segala
ilmu.
Pengetahuan
dan Ilmu[1]
Pengetahuan[2]
adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi
tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan
hasil dari proses usaha manusia untuk tahu[3].
Dalam perkembangannya pengetahuan[4]
manusia berdiferensiasi menjadi empat cabang utama, filsasat, ilmu, pengetahuan
dan wawasan. Untuk melihat perbedaan antara empat cabang itu, saya berikan
contohnya: Ilmu kalam (filsafat), Fiqih (ilmu), Sejarah Islam (pengetahuan),
praktek Islam di Indonesia (wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika
merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya
bukanlah ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.
Setiap ilmu
(sains) adalah pengetahuan (knowledge), tetapi tidak setiap pengetahuan adalah
ilmu. Ilmu[5]
adalah semacam pengetahuan yang telah disusun secara sistematis. Bagaimana cara
menyusun kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu?[6]
Jawabnya pengetahuan itu harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan,
dibesarkan dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode
ilmiah. Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki pengetahuan yang
banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika, matematika, statistika dan
bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak itu diolah oleh suatu metode tertentu.
Metode itu ialah metode ilmiah. Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan
juga untuk menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan
menarik pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.
Untuk
bepengetahuan seseorang cukup buka mata, buka telinga, pahami realitas,
hafalkan, sampaikan. Adapun untuk berilmu, maka metodenya menjadi lebih serius.
Tidak sekedar buka mata, buka telinga, pahami realitas, hafalkan, sampaikan,
secara serampangan. Seseorang yang ingin berilmu, pertama kali ia harus membaca
langkah terakhir manusia berilmu, menangkap masalah, membuat hipotesis
berdasarkan pembacaan langkah terakhir manusia berilmu, kemudian mengadakan
penelitian lapangan, membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya barulah ia
mencapai suatu ilmu. Ilmu yang ditemukannya sendiri.
Apa maksud
“membaca langkah terakhir manusia berilmu” ? Postulat ilmu mengatakan bahwa
ilmu itu tersusun tidak hanya secara sistematis, tetapi juga terakumulasi
disepanjang sejarah manusia. Tidak ada manusia, bangsa apapun yang secara
tiba-tiba meloncat mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar pengetahuan
sebelumnya. Katakanlah bahwa sebelum abad renaisansi di Eropa, bangsa Eropa
berada dalam kegelapan yang terpekat. Karena larut dalam filsafat skolastik
yang mengekang ilmu dan peran gereja. Para ilmuwan dan para filsafat abda itu
tentu memiliki guru-guru yang melakukan pembacaan terhadap mereka tentang
sampai batas terakhir manusia berilmu di zaman itu. Ilmu kimia abad modern
sekarang adalah berpijak pada ilmu kimia, katakanlah abad 10 masehi yang berada
di tangan orang-orang Islam. Dan ilmu kimia di abad 10 masehi itu tentu bepijak
pula pada ilmu kimia abad 3500 tahun sebelum masehi, katakanlah itu misalanya
dari negri dan zaman firaun.
Teknologi
dan Seni[7]
ADAKAH hubungan antara seni dan teknologi?
Seni dan teknologi adalah ekspresi budaya suatu masyarakat. Seni mempersoalkan
manusia, masyarakat, dan kehidupan. Begitu pula teknologi mempersoalkan
manusia, masyarakat, dan kehidupan serta ekonomi, ilmu pengetahuan, politik.
Teknologi itu kebudayaan dan seni juga kebudayaan. Teknologi dan seni sama-sama
bertanya tentang dirinya: apakah seni itu?,
apakah teknologi itu?, apa makna seni, apa makna teknologi?,
untuk apa seni dan untuk apa teknologi?.
Kebudayaan membuat
manusia semakin manusiawi. Kebudayaan membuat kehidupan ini lebih bermakna.
Manusia menghargai teknologi dan seni karena bermakna bagi kesempurnaan
hidupnya. Hanya mereka yang melihat seni dan teknologi secara wadah, hardware belaka, tidak mampu melihat
hubungan seni dan teknologi. Di belakang yang hardware selalu ada software.
Pada setiap yang tangible selalu ada
yang intangible. Dan yang nampak itu
selalu digerakkan oleh yang tak nampak. Semua kebudayaan itu, seni dan
teknologi, terwujud akibat munculnya gagasan, idea, imajinasi pada diri
manusia. Jadi, perbedaan seni dan teknologi sebenarnya hanya pada wujud saja,
pada hardware teknologi dan seni.
Namun keduanya bertolak dari sumber yang sama: otak manusia.
Penemu-penemu
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan jenis manusia yang "dingin
budaya". Rata-rata mereka penikmat seni yang tidak sembarangan, artinya
karya-karya seni yang mengangkat harkat budaya manusia. Mereka mampu memilih
karya-karya seni yang sejajar dengan kecerdasan teknologinya. Mereka yang
kreatif dalam teknologi menghadapi kretivitas seni. Sebab, ada teknologi
"pertukangan" dan seni "pertukangan". Tingkat pertukangan
itu cuma "menghafal" kreativitas orang lain. Mereka ini tidak peduli
apakah berdampak merugikan manusia atau membahagiakan manusia. Sedangkan
teknologi kreatif selalu berdasarkan pertimbangan kreativitas budaya.
Intinya adalah
persamaan software, intangible, dan
imajinasi pikiran. Keduanya membutuhkan kreativitas. Teknologi sejati itu
kreatif, dan seni sejati itu kreatif. Kreatif itu menemukan nilai-nilai baru
yang positif bagi perkembangan manusia. Teknologi dan seni yang tidak kreatif
itu cuma tingkat craft belaka.
Mengulang-ulang apa yang diciptakan dan ditemukan orang-orang lain yang lebih
orisinal.
Jadi persamaan
teknologi dan seni ada pada kerja kreatifnya. Teknologi tukang dan seni tukang
tidak akan nyambung. Keduanya akan aman-aman saja hidup bertetangga tanpa
menghiraukan satu dengan yang lain. Yang membuat bom nuklir sibuk dengan
dirinya, dan yang memikirkan makna manusia dan dunia juga tak peduli
tetangganya sedang membuat benda yang akan membinasakan sekian juta umat
manusia. Ketika bom itu benar-benar buat sengsara begitu banyak manusia,
ilmuwan dan teknologi mulai berpikir mendalam tentang makna temuan mereka.
Anak-anak yang
belajar teknik tidak sedikit yang tertarik pada seni. Ketertarikannya mereka
pada seni bukan jenis yang suka iseng dengan seni, tetapi serius dan kreatif
dalam berkesenian, seperti layaknya mahasiswa seni. Mereka ini justru sering
bikin kaget dunia seni, akibat disiplin otaknya yang sudah matematis. Mahasiswa
seni sebaliknya bukan hanya berurusan dengan imajinasi. Hanya peduli software karena teknik seninya memang
sederhana saja. Mahasiswa seni juga perlu software
teknologi. Mereka perlu matematika.
Kembali
lagi, bahwa dasar keberagamaan dan kesamaan antara teknologi dan seni adalah
kebudayaan. Dan kebudayaan itu pada akhirnya bermuara pada filsafat, atau
setidak-tidaknya pertanyaan filosofis. Apakah mesin itu? Apa makna mesin bagi
saya? Apa bagi manusia? Untuk apa mesin ada? Pertanyaan-pertanyaan yang sama
ini tak pernah disatukan. Bahwa keduanya saling membutuhkan.
Masalahnya
tiadanya taksonomi ilmu-ilmu teknologi dan taksonomi ilmu-ilmu seni. Seni itu
memiliki sejumlah besar cabang-cabang ilmu, begitu pula teknologi dan ilmu-ilmu
lain. Dalam jabaran taksonomi ilmu masing-masing itulah akan ditemukan relasi
antara ilmu-ilmu teknologi dan seni. Pada waktu itulah dosen teknik mengajar di
fakultas seni, dan fakultas seni membutuhkan segi tertentu ilmu teknologi.
Keduanya saling mengisi dan keduanya saling memperkaya. Bukan lagi minyak
dengan air. Kebudayaan, teknologi dan seni, tujuannya sama, yakni untuk
kesejahteraan umat manusia, kesejahetraan bangsa.
Kebudayaan,
teknologi, dan seni, adalah dunia tanggapan terhadap realitas kehidupan. Dan
realitas kehidupan itu berdenyut di sekitar mereka menghirup kehidupan.
Teknologi dan seni itu menjawab realitas. Indonesia sekarang ini mungkin lebih
membutuhkan becak bermesin dari pada jenis mobil modern Proton. Lebih murah,
lebih praktis, lebih bermakna bagi bangsa. Tetapi siapa yang peduli?[8]
Masalah
Indonesia itu bukan masalah Eropa atau Amerika. Dengan demikian, harus dijawab
secara Indonesia pula. Tentu saja kita tidak boleh terus menimba yang universal
itu. Namun, tidak kita telan mentah-mentah sebagai bagian dari jawaban
persoalan kita sendiri. Tugas intelektual Indonesia itu dobel, menimba
ilmu-ilmu mutakhir mondial, dan menerjemahkan untuk persoalan kita sendiri. Teknologi dan seni itu hubungannya
adalah kreativitas. Indonesia memerlukan seniman teknologi, dan seniman
membutuhkan teknologi-seni.
Agama
dan Kebudayaan
Agama[9]
dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak
yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang
utuh. Dalam kaidah sebenarnya agama[10]
dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat disatukan,
karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada kebudayaan[11].
Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat.
Geertz
(1992:13), mengakatan bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam
benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu
atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu
bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara,
ukiran, bangunan.
Dapatlah
disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi
manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu
agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis,
budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Hubungan
kebudayaan dan agama tidak saling merusak, keduanya[12]
justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa
”Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu
beragama”. Agama dan kebudayaan sebenarnya tidak
pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi
berkembang terus mengikuti
perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai
kebudayaan dan peradaban dunia.
Jika kita teliti
budaya Indonesia, budaya itu terdiri
dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha,
Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama
adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan
penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku
adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga
yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan
tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan
estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua
dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradaban
yang menekankan pembebasan rohani agar Atman
bersatu dengan Brahman maka dengan
itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk
menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga
adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan
dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas
diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat
adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib
kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan
terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan
menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak
yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya
bangsa.
Lapisan kelima
adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan
nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan
melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut balasan
yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai
tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar
kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit,
sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Peradaban
dan Kerusakan
Salah satu aspek
penting dalam peradaban Islam adalah peran utama akhlak dan spiritual. George
Zaidan, penulis Kristen asal Lebanon menulis, "Langkah pertama yang
dilakukan Rasulullah Saw setelah tiba di Madinah adalah menciptakan
persaudaraan antara Mekkah dan Madinah. Persaudaraan antara
kaum Muhajirin dan Anshar merupakan bentuk persatuan Islam yang dicanangkan
Rasulullah." Menurut Zaidan, Islam dari awal menekankan moral dan
spiritual.
Kategori agama dan moral adalah dua hal yang
berhubungan erat dengan kebudayaan dan peradaban. Kedua hal itu juga berperan
penting dalam mengagungkan kebudayaan dan peradaban. Sebagian besar pemikir
kontemporer sepakat bahwa meski Barat sukses di bidang teknologi dan sains,
tapi terpuruk dari sisi moral. Dengan ungkapan lain, Barat dari sisi peradaban,
sama sekali tidak berkembang, bahkan malah terjebak dalam dekadensi. Sebagian
besar pemikir juga meyakini bahwa peradaban Barat terpuruk karena tidak
perhatian pada moral dan spritual.
Penulis asal AS,Patrick J. Buchanan , dalam
bukunya, Death of the West, melontarkan sebuah pertanyaan,"Mengapa
masyarakat yang berkembang dari sisi sains dan teknologi, berada dalam kondisi
sekarat?"
Para pakar dalam mengamati keterpurukan
peradaban Barat mempunyai berbagai pendapat. Pemikiran yang berkuasa di Barat
setelah Renaissance, berlandaskan pada tiga ideologi, yakni humanisme,
liberalisme dan sekularisme. Dalam pandangan humanisme, manusia dipahami
sebagai eksistensi independen yang tidak membutuhkan peran ilahi dan hidayah
Tuhan. Selain itu, kebudayaan Barat yang berlandaskan liberalisme dan
individualisme, menolak nilai-nilai dan prinsip akhlak dan spritual. Penolakan
terhadap nilai-nilai moral itu tentunya berakibat buruk pada kebudayaan Barat.
Tak diragukan lagi, perilaku amoral adalah imbas menyampingkan moral dan
spritual.
Selain itu,
Barat juga berlandaskan pada ideologi sekuler yang menegaskan kecendurungan
pada dunia. Salah satu dampak penting sekularisme adalah penolakan peran agama
dalam bidang pemerintahan dan sosial. Humanisme, sekularisme dan liberalisme
adalah pemikiran-pemikiran yang berkembang di Barat yang tentunya berpengaruh
pada kondisi masyarakat.
Buchanan dalam
menjawab pertanyaan yang dilontarkan terkait keterpurukan peradaban Barat di
tengah kemajuan sains dan teknologi, mengatakan, "Peradaban ini terpuruk
karena berlawanan dengan moral dan spiritual. Barat bahkan mengutuk semua hal
yang berhubungan dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Pada dasarnya, ideologi
Barat bertentangan dengan karakter manusia dan natural."
Menurut
Buchanan, penyimpangan moral dan penghapusan agama di dunia kehidupan manusia
dapat disebut sebagai faktor utama dekadensi peradaban Barat. Ia dalam
tulisannya menyebutkan, "Pada tahun 1983 ada pembahasan terkait krisis
kedokteran di Gedung Putih. 600 warga AS tewas karena AIDS. Kelompok
homoseksual menyatakan perang terhadap alam, dan alam juga menghukum mereka
dengan hukuman terburuk. Hingga kini terdapat ratusan ribu penyandang HIV dan
mereka hanya bisa bertahan hidup dengan konsumsi Green Cocktail (GC). Revolusi seks telah dimulai untuk memusnahkan
generasi manusia. Aborsi, perceraian, penurunan tingkat kelahiran, bunuh diri
di kalangan para pemuda, konsumsi narkotika dan kekerasan atas perempuan dan
kaum lanjut usia, seks bebas dan puluhan masalah
lainnya. Semua itu menunjukkan keterpurukan peradaban Barat."
Penulis asal AS menilai heroin sebagai hal
yang berpengaruh pada peradaban Barat. Heroin pada awalnya dapat menenangkan seseorang,
tapi setelah mengendap di tubuh manusia akan menghancurkannya. Penulis asal AS,
Kenneth R. Minogue, dalam salah satu bukunya menulis, "Karena jauh dari
moral, kami tidak dapat mengklaim bahwa peradaban Eropa dan Barat
terbaik."
Pada prinsipnya, ketika moralitas
dipertahankan di tengah masyarakat dan semua nilai akhlak dihargai, maka
kesejahteraan dan kelestarian masyarakat itu akan terjamin. Dr Velayati dalam
bukunya, Pouya-e Farhang va Tamadun-e Islam va Iran, mengatakan, "Jika
masyarakat mencapai pada peradaban yang dapat diterima, tapi tidak menghormati
undang-undang, maka peradaban itu akan lemah yang kemudian berujung pada
instabilitas. Saat itu, masyarakat akan kehilangan pilar-pilar peradaban."
Segala fenomena sosial dan segala hal yang berhubunagn
dengan manusia, termasuk peradaban, mempunyai kondisi pasang surut. Sejumlah
pakar meyakini bahwa setiap peradaban di sepanjang perjalanannya melewati
masa-masa yang terkadang pasang dan surut. Sebagaimana yang disinggung
sebelumnya, moral dan spritual dapat menjadi penyebab perkembangan peradaban
dan kebudayaan. Sebaliknya, masyarakat yang mengabaikan moralitas, tak akan
bertahan lama. Masyarakat itu akan dihadapkan pada keterpurukan yang serius.
Salah satu contoh yang jelas adalah nasib
buruk yang dialami umat Islam di Andalusia. Menurut sejumlah pengamat,
penyimpangan terhadap akhlak dan nilai-nilai Islam adalah salah satu faktor
keterpurukan kekuatan umat Islam di Andalusia. Padahal agama Islam selalu
menekankan nilai-nilai mulia dan moralitas. Dalam sejarah nabi disebutkan bahwa
salah satu alasan hijrahnya Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah adalah upaya
menjaga jarak Rasulullah Saw dari tradisi Jahiliah.
Masih mengenai faktor bobroknya sebuah
peradaban, pakar sejarah asal AS, Will Durant menyebut konfrontasi antara ilmu
dan nilai sebagai penyebab keterpurukan peradaban. Pernyataan serupa juga
ditegaskan pakar sejarah muslim Ibnu Khaldun.
Penyebab lainnya keterpurukan peradaban adalah
tidak adanya persatuan dan solidaritas masyarakat. Penulis sejarah asal Iran,
Abdolhossein Zarrin Koub menyebut tidak adanya persatuan dan solidaritas
sebagai penyebab hancurnya peradaban. Ia juga berpendapat bahwa sikap toleransi
malah dapat mengokohkan peradaban masyarakat.
Menurut penulis asal Iran itu, peradaban Islam
mulai terpuruk sejak periode Dinasti Bani Umayah yang menekankan konsep rasis
bahwa bangsa Arab lebih unggul dari bangsa non Arab. Selain itu, kerusakan dan
hedonisme menurut Zarrin, juga menjadi penyebab lain keterpurukan peradaban.
Praktik kerusakan dan hedonisme mulai mengemuka dan menonjol di masa Dinasti
Bani Umayah yang juga menjadi faktor kehancuran peradaban Islam yang dibangun
oleh Nabi Muhammad Saw.
Serangan budaya asing juga dapat dikatakan
faktor lain keterpurukan kebudayaan dan peradaban. Budaya Barat terus menyerang
negara-negara yang mempunyai peradaban Islam. Serangan bangsa Mongol ke
negara-negara Islam dan perang-perang besar seperti Perang Salib disebut-sebut
sebagai contoh jelas serangan budaya terhadap negara-negara Islam. Akan tetapi
umat Islam dalam perang-perang semacam ini tidak mudah tunduk. Meski pada
awalnya dikuasai, tapi umat Islam setelah beberapa waktu, dapat mempertahankan
budaya Islam. Jika memperhatikan sejarah, kita akan menyaksikan bahwa umat
Islam benar-benar berusaha keras mempertahankan kebudayaaan dan peradaban
Islam. Ini menunjukkan bahwa budaya yang ditanamkan Islam tidak mudah sirna.
Kedamaian
dan Peperangan
"Jika semua orang
menginginkan perdamaian dan tak seorang pun menginginkan peperangan, mengapa
sampai sekarang semua orang terus berperang dan kita sama sekali tak merasakan
adanya perdamaian yang sesungguhnya di dunia ini ?"
Kita sadar bahwa
terlalu banyak perbedaan yang terjadi di dunia ini. Antara satu individu dengan
satu individu yang lain bahkan sudah terlalu banyak hal yang berbeda, antara
dua anak kembar identik bahkan dapat kita temukan berbagai macam perbedaan yang
mereka miliki, apalagi perbedaan antar kelompok
yang ukurannya jauh lebih besar yang jelas-jelas sangat berbeda dalam segala
hal.
Orang biasa mengatakan perbedaan itu
menunjukkan bahwa setiap orang adalah unik, memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing dan makanya harus saling melengkapi. Tapi kenyataannya perbedaan
hanya menimbulkan konflik dan peperangan. Hal ini terjadi karena meskipun
kata-kata manis tentang perbedaan itu telah diucapkan, setiap orang tetap saja
masih sulit untuk menghargai hal tersebut. Dalam realitanya memang konflik bagi
kita untuk menerima perbedaan yang ada.
Untuk menyederhanakan ini semua, saya akan
menjabarkan dalam skala yang lebih kecil. Kita
dalam kehidupan sehari-hari pasti sering melihat berbagai orang yang berbeda
dengan kita. Suku, Agama, Ras/Subras, Kebudayaan, Pendapat, Ideologi-Idealisme,
Sudut Pandang, Keinginan, Kebutuhan, Karakter, Perilaku, Hobi, dan masih banyak
lagi. Semua perbedaan itu baik langsung maupun tidak langsung telah melahirkan
konflik di antara kita. Sebagai contoh nyata:
1)
Jika kita berasal dari suatu agama
tertentu (misal: agama A) tiba-tiba harus berinteraksi dengan orang dari agama
lain (misal: agama B) apalagi melihat orang dari agama B itu melakukan ritual
keagamaannya, pasti di hati kita sudah ada perasaan yang agak mengganjal
terhadap orang itu. Bahkan sebelum mengenal orang lain yang berbeda agama pun
kita sudah memiliki paradigma yang buruk tentang siapa pun yang berbeda agama
tersebut (siapa pun yang agamanya berbeda dari kita, pasti buruk).
2)
Jika kita berasal dari suku tertentu
(misal suku A), pasti kita sudah memiliki pemikiran bahwa suku kita adalah yang
paling baik dan kita pun sudah memiliki pandangan-pandangan dan
pemikiran-pemikiran yang negatif tentang suku lain (melabelkan suatu suku
tertentu dengan suatu sifat buruk atau celaan).
3)
Jika kita berasal dari ras/subras
tertentu (misal: ras/subras A) tiba-tiba mengenal/melihat dan berinteraksi
dengan orang berbeda ras/subras, pasti kita pun langsung memiliki perasaan yang
mengganjal atas perbedaan yang ada antara kita dengan orang tersebut
berdasarkan ras/subras masing-masing (misal: warna kulit, bentuk rambut).
4)
Jika kita memiliki paradigma dan pola
pikir yang berbeda dengan orang lain, pasti kita langsung merasa kurang suka
dengan orang tersebut dan lalu muncul keinginan kita untuk mempengaruhinya agar
kemudian orang tersebut memiliki paradigma dan pola pikir yang sejalan dengan
kita.
5)
Jika kita memiliki hobi dan karakter
yang berbeda dari seseorang, kita langsung merasa kurang cocok dengan orang
tersebut sehingga dari rasa tidak cocok itu kita mulai merasa tidak suka dengan
orang tersebut.
Semua perbedaan
yang ada itu sama sekali tidak melahirkan rasa kebersamaan di antara kita
melainkan konflik yang awalnya hanya secara pribadi dan dipendam yang kemudian
akhirnya bisa meluas. Hal inilah yang kemudian melahirkan perang di dunia ini,
sebuah perasaan yang menyatakan bahwa yang berbeda harus mati dan tidak pantas
untuk berada di dunia ini hanya karena tidak sama.
Kenyataannya,
memang tidak ada satu pun solusi bagi masalah ini, karena secara serempak semua
orang di dunia tanpa terkecuali melakukan hal tersebut. Walaupun awalnya tampak
sebagai hal yang sepele, tetapi akhirnya bisa melahirkan masalah yang sangat
besar.
Meskipun
demikian, tak ada salahnya bagi kita menyadari dan perlahan-lahan belajar untuk
mengurangi konflik dari perbedaan tersebut karena sesungguhnya seluruh
perbedaan yang ada di dunia ini hanyalah Ilusi semata. Semua hal yang ada
sangat terlihat sebagai hal yang saling berbeda satu sama lain, tapi pada
dasarnya semua hal tidak yang berbeda, semuanya sama. Yang membuat hal-hal itu
tampak berbeda hanyalah bagaimana alat indera kita menanggapi dan kemudian otak
kita merespon hal tersebut. Ya, sesungguhnya semua berbeda karena menurut penglihatan
dan pendengaran kita semua itu adalah hal yang saling berbeda satu sama lain.
Jika perbedaan
melahirkan perang, perang melahirkan penderitaan, maka perbedaan adalah
melahirkan penderitaan. Jika dengan melihat dan mendengar hanya akan melahirkan
perbedaan, maka melihat dan mendengar pun hanya akan melahirkan penderitaan,
berarti melihat dan mendengar adalah sumber penderitaan. Maka jika kita ingin
menghilangkan semua penderitaan itu, berarti kita semua harus menjadi buta dan
tuli agar tidak ada perbedaan. Tidak bisa melihat dan mendengar berarti tidak
ada perbedaan. Tidak ada perbedaan berarti tidak ada perang dan kebencian.
Tidak ada perang dan kebencian berarti tidak ada penderitaan. Tapi apakah dunia
seperti itu yang kita inginkan? Apakah kita menginginkan dunia yang gelap dan
sepi tanpa cahaya?
Kita semua
melihat hal ironis yang terjadi saat ini, yaitu ketika dunia ini menyatakan
bahwa semua orang menginginkan perdamaian, di saat yang sama semua orang pun
memegang senjata masing-masing. Menginginkan perdamaian tapi menggenggam
senjata dan siap untuk menyerang? Sungguh hal yang sangat konyol. Mungkin ada
yang beralasan bahwa jika tidak memegang senjata, maka tidak akan bisa
melindungi dan mempertahankan diri bila suatu saat ada yang menyerang. Tapi menurut
saya jika semua orang mengatakan hal seperti itu, berarti mereka semua telah
berprasangka buruk satu sama lain. Bagaimana mungkin dunia ini bisa damai jika
semua orang saling berprasangka buruk seperti itu?
Ketika ada yang
menyerang kita, dikatakan kepada kita untuk mempertahankan diri demi nyawa kita
dan mereka yang ingin kita lindungi dan demi harga diri kita. Sungguh suatu
definisi yang gamblang bahwa yang dimaksud mempertahankan diri di sini adalah
menyerang balik karena jika tidak membunuh lawan maka kitalah yang akan
dibunuh. Tapi di sini saya mengatakan bahwa membunuh karena ada yang dibunuh,
dibunuh karena membunuh. Apakah dengan seperti itu dunia ini bisa menjadi
damai? Jika kita menyakiti anak seorang ibu, maka ibu itu akan marah kepada kita
karena kita menyakiti anaknya. Sebaliknya, jika ibu itu menyakiti kita maka
orangtua kita akan marah terhadap ibu itu.
Apapun alasannya
manusia menyakiti satu sama lain, itu tetaplah hal yang tidak dibenarkan. Jika
memang ada yang ingin kita lawan bukanlah mereka yang berbeda dari kita,
melainkan orang-orang yang menghendaki peperangan itu sendiri. Jika memang
ingin melawan bukanlah dengan konfrontasi karena peribahasa pun menyatakan
banyak jalan menuju roma. Bukanlah dengan kebencian kita saling melengkapi,
melainkan dengan cinta. Jika kita ingin saling mencintai, maka kita harus bisa
saling berbagi dan mengerti satu sama lain. Hanya ketulusan seseoranglah yang
bisa menyentuh hati orang lain. Tak ada orang yang jahat di dunia ini, yang ada
hanyalah mereka yang belum merasa kebaikan dari orang lain, belum merasakan
kebaikan dari sesuatu yang berbeda dari mereka. Maka kita haruslah menunjukkan
kebaikan itu dengan tulus.
Perbedaan yang
ada di antara kita tidak lebih hanyalah merupakan warna-warni dunia yang
menghiasi kehidupan yang bernaung di bawah langit biru. Apakah salah jika
berbeda? Memangnya ada yang menghendaki perbedaan? Memangnya ada yang ingin
dilahirkan berbeda dari yang lainnya? Tapi jika suatu lukisan hanya terdiri
dari satu warna, apakah akan indah lukisan tersebut? Hendaknya kita semua
memaknai perbedaan tersebut dengan penuh perenungan bahwa sesungguhnya meskipun
kita semua berada dalam jalur yang berbeda, tetapi sebenarnya tujuan kita
adalah sama. Perbedaan jalur terjadi karena kita hanya melakukan sesuatu sesuai
yang kita yakini benar, sesuatu yang tidak lebih dari subyektivitas belaka.
Tapi justru itu semualah yang kian memberi berbagai macam warna di dunia ini
sehingga dunia ini menjadi hidup.
Penjajahan
dan Dominasi Kekuasaan
Dalam realitasnya, kemerdekaan yang dimaksud
bukanlah dalam konteks freedom
(kebebasan). Sebab, dominasi atas pihak lain untuk meninggikan martabat pihak
yang didominasi, tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah penjajahan. Tetapi,
definisi penjajahan yang tepat adalah dominasi dari pihak tertentu hingga
mengakibatkan eksploitasi atas pihak lain. Jika penjajahan adalah lawan dari
kemerdekaan, maka penjajahan adalah bentuk dominasi satu pihak kepada pihak
lain hingga terjadinya eksploitasi atas pihak yang didominasi. Artinya,
penjajahan itu bukan soal dominasi. Tetapi soal “dominasi yang mengakibatkan
eksploitasi”. Inilah definisi penjajahan (isti’mar) yang sahih dan sesuai realitas.
Oleh karena
itulah, dominasi militer, politik, ekonomi, dan budaya terhadap pihak lain
untuk dieksploitasi adalah bentuk penjajahan. Tetapi dominasi atas pihak lain
(dalam segala bidang), bukan untuk dieksploitasi, namun untuk diangkat
martabatnya ke arah yang lebih mulia, tidak bisa disebut dengan penjajahan.
Dominasi
Portugis terhadap Maluku pada tahun 1511-1526 (selama 15 tahun), disebut dengan
penjajahan. Sebab, dalam kurun waktu itu pribumi kepulauan Nusantara
dieksploitasi sumber daya alamnya, dirampas untuk kemudian dijadikan barang
dagangan orang-orang Eropa.
Adanya
eksploitasi terhadap pribumi Nusantara waktu itu ditunjukkan dengan adanya
penolakan yang berujung pada perlawanan rakyat terhadap Portugis, seperti yang
dilakukan rakyat Minahasa, rakyat Malaka, rakyat Aceh, dan rakyat Maluku di
bawah pimpinan Sultan Khairun dan putranya Sultan Baabullah. Bahkan, Adipati
Yunus (Sultan Demak) pun turut mengirimkan ekspedisi jihad ke Malaka untuk
membantu Kesultanan Malaka melepaskan diri dari penjajahan Portugis.
Begitu pula
dengan dominasi Spanyol atas Nusantara, juga bisa dikatakan sebagai penjajahan.
Sebab, yang terjadi adalah eksploitasi atas sumber daya rakyat di kepulauan
Nusantara. Keberadaan mereka pun mendapat perlawanan sengit dari rakyat
Minahasa dan Maluku. Sekali lagi, alasannya adalah soal eksploitasi. Lebih
buruk lagi, kedua penjajah ini (Portugis dan Spanyol) justru menjadikan Maluku
sebagai ajang perebutan daerah koloni (jajahan).
Inggris, negara
yang dianggap ‘penjajah yang baik’ oleh sebagian pihak karena dianggap turut
membangun wilayah jajahan, sebenarnya juga merupakan penjajah yang busuk.
Kenyataan ini bisa dilihat dari kebijakan yang diterapkan Inggris ketika
menetapkan sistem sewa tanah (landrent).
Jadi, keberadaan Inggris di Nusantara adalah untuk menguasainya, kemudian
merampas tanahnya dari rakyat pribumi, lalu menyuruh rakyat pribumi menyewa
tanah hasil rampasan Inggris (yang notabene
adalah tanah pribumi sendiri). Ini juga merupakan kolonialisasi Inggris atas
Indonesia.
Yang paling
parah, tentu dominasi Belanda dan Jepang atas Indonesia. Kedua negara ini tidak
dipungkiri telah mendominasi dan mengeksploitasi Indonesia sampai pada taraf
yang sangat keji. Bukan hanya sumber daya alam yang dieksploitasi, tetapi juga
sumber daya manusianya. Siapa yang bisa mengingkari kenyataan ini? Bahkan dunia
pun mengakuinya.
Namun, berbeda
dengan dominasi kaum muslim atas tanah Syam, sesaat setelah wafatnya Rasulullah
saw. Dominasi kaum muslim atas wilayah Syam justru adalah dominasi untuk
mengangkat martabat mereka (orang-orang Syam) ke arah yang lebih tinggi, mulia,
dan terhormat. Sebab, yang dilakukan kaum muslim terhadap Syam adalah futuhat (pembebasan), bukan isti’mar (penjajahan).
Apa perbedaan
antara futuhat dan isti’mar? Futuhat bisa diartikan pembebasan atau pembukaan.
Pembukaan, maksudnya adalah membuka akal manusia yang selama ini tertutup oleh
kabut kekufuran. Sedangkan pembebasan, maksudnya adalah membebaskan wilayah
yang ditaklukkan dari penjajahan pihak lain. Jadi, realitasnya futuhat adalah
ajakan untuk memeluk Islam dan menjadi bagian dari perlindungan Islam.
Sedangkan isti’mar (penjajahan) tujuannya hanya satu, yaitu eksploitasi atas
pihak yang dijajah. Jadi, motif dan tujuannya memang jelas berbeda.
Motif dan tujuan
yang berbeda, tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan
yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi
Kapitalisme, telah membuat ideologi ini menganut prinsip menghalalkan segala
cara untuk meraih tujuan. Bagi negara penganut ideologi Kapitalisme, penipuan,
kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah dianggap sah dalam rangka
mencapai tujuannya. Namun semua ini selalu ditutupi dengan dalih penyelamatan
umat manusia, penegakan HAM, atau menjaga keamanan dunia. Tidak mengherankan
kalau sejarah Kapitalisme dunia selalu diisi dengan dengan darah dan air mata
dari rakyat negara yang dijajah. Tidak heran pula, jika isti’mar selalu
membuahkan perlawanan rakyat.
Hal ini sangat
berbeda dengan Islam yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah swt.
Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka
terlebih dulu memeluk Islam (dakwah). Kalau rakyat pribumi tidak mau masuk
Islam, mereka ditawari masuk dalam kekuasaan khilafah (pemerintahan Islam)
seraya membayar jizyah, meski pun mereka tetap pada agama mereka. Jadi, dalam
Islam, perang merupakan pilihan terakhir. Lagipula perang dalam rangka futuhat
bukanlah untuk memerangi rakyat setempat, tetapi adalah untuk menghilangkan
penghalang-penghalang fisik, misalnya penguasa zalim mereka yang menghalangi
diterimanya Islam oleh rakyat pribumi. Sebab, seringkali penghalang terbesar
datangnya hidayah adalah karena faktor penguasanya.
Sekali lagi,
penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi.
Ini tidak terjadi pada masa dominasi Islam atas berbagai wilayah di dunia. Pada
umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap
Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk
Islam lainnya dan bahkan turut menjadi pembela negara Islam. Tidak pernah
didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai
penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang yang membela
agama atau negaranya (ketika masih menjadi bagian dari kekuasaan Khilafah
Islam). Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan
memperjuangkan eksistensinya?
Berbeda halnya
dengan penjajahan negara-negara Barat imperialis. Hampir sebagian besar orang
di dunia menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapan pun, akan
menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan tetap
menganggap Inggris sebagai penjajah. Italia pun sampai sekarang tetap dianggap
penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan sekarang
adalah bukti yang nyata. Rakyat Irak, meskipun mereka tidak setuju terhadap
rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, bukan berarti mereka
menerima Amerika Serikat. Negara super power ini tetap saja dianggap sebagai
penjajah. Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut, jumlah
mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya
menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan, dan mereka adalah yang diuntungkan
dengan hadirnya negara imperialis itu di Irak.
a.
Ironi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945
dianggap sebagai hari dimana rakyat Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda.
Dari sejak tanggal tersebut sampai sekarang, kemerdekaan Indonesia selalu
diperingati dengan sangat meriah. Seolah-olah Indonesia benar-benar telah
merdeka, lepas dari bentuk dominasi dan eksploitasi dari bangsa lain. Namun
realitas sesungguhnya menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Justru saat ini
dominasi dan eksploitasi bangsa lain atas Indonesia tetap terjadi, hanya saja
dalam bentuk yang lain.
Dominasi dan
eksploitasi asing itu terlihat dari diterapkannya ideologi Kapitalisme-Sekular
dan eksploitasi sumber daya alam dengan mengatasnamakan kerja sama dan hubungan
diplomatik. Ideologi Kapitalisme-Sekular telah mendominasi negeri ini dari
sejak negara ini pertama kali dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ideologi ini dijadikan dasar bagi setiap kebijakan penguasa yang berkuasa, baik
itu di era Orde Lama, Orde Baru, maupun di era Reformasi saat ini. Ideologi ini
dijadikan dasar untuk menghasilkan berbagai keputusan politik (pemerintahan,
ekonomi, sosial, budaya, keamanan, politik dalam negeri, politik luar negeri,
sektor pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) yang menyangkut kebijakan
strategis negara. Ini terus digunakan sampai sekarang. Kalaupun ada
perubahan-perubahan politik, itu hanyalah modifikasi saja. Tetapi hakikatnya
tetap sama, yaitu Kapitalis-Sekular.
Dari sisi
eksploitasi, sumber daya alam dan sumber daya manusia negeri ini benar-benar
telah dirampas oleh pihak asing. Kekayaan alam negara Indonesia lebih banyak
mengalir ke luar negeri daripada menghidupi rakyatnya sendiri di dalam negeri.
Contohnya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan
BPJS, UU KDRT, dan sebagainya. Ini belum termasuk regulasi lain seperti
Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan lain-lain yang turut mengokohkan
berbagai regulasi yang bersifat eksploitatif itu. Inilah bentuk eksploitasi
bangsa lain terhadap rakyat Indonesia. Dominasi dan eksploitasi, bukan dalam
bentuk militeristik, namun lebih bersifat politik. Jadi, sungguh sangat ironis
jika Indonesia masih mengaku sebagai negara yang merdeka, sementara Indonesia
masih berada dalam cengkeraman pihak asing.
b.
Kemerdekaan Hakiki
Penjajahan
adalah dominasi yang mengakibatkan eksploitasi. Karena itu, di dalam penjajahan
ada pengekangan alias kontrol. Kontrol dari pihak tertentu kepada pihak lain,
dengan tujuan untuk mengkesploitasi segala potensi yang dimiliki. Ini
berlawanan dengan kemerdekaan dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam,
kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada selain Allah,
menuju kepada penghambaan hanya kepada Allah. Definisi inilah yang menjadi
dasar bagi kaum muslimin untuk membebaskan bangsa lain sebagaimana yang
dikatakan oleh Saad bin Abu Waqqas ra. saat berhadapan dan menjawab pertanyaan
Panglima Perang Persia, Rustum pada Perang Qadisiyah. Waktu itu Saad bin Abu
Waqqash ditanya, “Apa alasan kalian memerangi kami?” Saad bin Abu Waqqas
menjawab, “Untuk membebaskan kalian dari penghambaan kepada manusia menuju
penghambaan kepada Allah SWT.”
Jadi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi
penjajahan adalah soal eksploitasi. Dan kemerdekaan bukanlah soal kebebasan
yang sebebas-bebasnya, tetapi kemerdekaan adalah terbebasnya manusia atau
sekelompok manusia (rakyat) dari penghambaan kepada manusia, menuju penghambaan
hakiki kepada pencipta manusia, yaitu Allah swt.
[1]Ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang harus
dimiliki manusia untuk dapat hidup dengan layak dan baik. Ilmu pengetahuan juga
banyak dipelajari dengan tujuan manusia-manusia modern dapat memanfaatkannya
untuk menemukan hal-hal yang membawa kesejahteraan hidup lebih luas seperti
penemuan obat baru, kendaraan baru, dan alat teknologi.
[2]Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang
diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak
dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang
secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
[3]Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai
gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan
muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau
kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya
ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan
pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
[4]Pengetahuan adalah informasi yang telah
dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas
melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan
prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala
informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan
menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan
tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.
[5]Ilmu adalah suatu bentuk pemikiran manusia yang
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
[6]Ilmu memiliki jangkauan yang lebih luas dari
pengetahuan. Ketika seseorang ingin mendapatkan ilmu maka ia harus mempelajari
pengetahuan. Artinya setiap ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun
secara sistematis membentuk sebuah alur konkret yang bermanfaat.
[7]Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 September 2007, Jakob
Sumardjo.
[8]Realitas kita
adalah realitas Indonesia, dan kita dilahirkan di sini dan dalam abad ini.
Itulah tugas kita untuk membangun bangsa dan negara ini. Bukan ikut membangun
bangsa dan negara yang tak jelas karena imajinasi mondialnya. Kita harus berani
beda!
[9]Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari
kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata itu jika
dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena
itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas
dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan
oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang
perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
[10]Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai
terjemahan dari kata “Al-Din” seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat
3:19 (Zainul Arifin Abbas, 1984:4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai
lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan
akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus
syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui
syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini
membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan
doktrin.
[11]Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia(1996: 149), disebutkan bahwa: “budaya“
adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan
keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah
mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi
melihat kebudayaan sebagai tata hidup,
way of life, dan kelakuan.
[12]Contoh Hubungan agama dan kebudayaan di dalam
kehidupan sehari-hari; (1) ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan
cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang
beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan
berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka
beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika
mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat. (2) ketika
ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi
perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi
segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah
terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di
jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan
lintas etnoreligius. (3) budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi
umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya
0 komentar:
Posting Komentar