PERKEMBANGAN FILSAFAT




Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang mitos-mitos. Bahkan kalau di pikirkan secara seksama lagi, ternyata filsafat sendiri dilahirkan dan dikembangkan melalui jalan mitologis. mitos-mitos yang berkembang sendiri merupakan metode yang dilakukan untuk memahami segala sesuatu yang ada, karena ketidaktahuan dan penasarannya manusia terhadap alam semesta ini dan pada saat itu jawabannya hanya ada di dalam mitos sehingga muncul anggapan bahwa bumi ini bisa gelap karena ada raksasa yang menggengam bumi ini, dan menjadi terang kembali setelah raksasa melepas genggamannya. Khayalan-khayalan itu menjadi “keyakinan”  yang selanjutnya membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya. Kemudian setelah berkembang jaman manusia pun mulai mencari kebenaran yang bisa dibuktikan secara rasional yang melahirkan sebuah ilmu pengetahuan, mereka berhasil mengubah masyarakat yang mitos menjadi logos yang sekarang dikenal dengan “filsafat”.



Filsafat sebagai induk pemikiran ilmiah selalu berada dibelakang kemajuan suatu peradaban. Langkah ini dimulai dengan cara coba-coba (trial and error). Cara ini membimbing manusia pada kemampuan menemukan pengetahuan ilmiah yang melibatkan observasi dan eksperimen.
Lambat laun perkembangan ilmu filsafat pun semakin pesat, perkembangan filsafat terdiri dari 5 periode yaitu: 1) periode yunani 2) periode Helenitas dan Romawi 3) periode Patristik 4) periode Islam 5) periode Skolastik 6) periode abad pertengahan 7) periode modern 8) periode baru.
1.        Periode Yunani (600 SM–322 SM)
Pada zaman yunani kuno terdapat 3 masa perkembangan yaitu masa awal, masa kaum sofis serta masa keemasan. Pada masa awal ini, filsafat hanya membahas tentang alam dan kejadian alamiah terutama dalam hubungannya dalam perubahan-perubahan yang terjadi. Namun mereka yakin bahwa perubahan-perubahan ini terdapat suatu unsur yang menentukan, tapi mereka punya perbedaan pendapat tentang perbedaan unsur-unsur tersebut. Seperti Thales menyebutnya unsur air, Anaximandros dengan unsur yang tidak terbatas (to apeiron), Anaximenes dengan unsur udara. Anaximandros dan anaximenes adalah kedua murid Thales namun berbeda pendapat dalam pemahamannya tentang unsur-unsur tersebut. Selanjutnya Heraklitos mengatakan unsur tersebut adalah api, menurutnya api adalah lambang perubahan. Karena tidak ada didunia yang tetap, definitf dan sempurna, tetapi berubah. Segala sesuatu berada dalam status “menjadi” kemudian berubah.
Pemikiran Phytaghoras berbeda dengan filosof pada masanya kecuali Anaximandros dalam memahami unsur tersebut. Menurutnya unsur tersebut tidak dapat ditentukan dengan pengenalan indrawi, melainkan dapat diterangkan dengan perbandingan dasar antar bilangan, karena Phytaghoras terkenal sebagai pengembang ilmu pasti dengan dalil terkenalnya yaitu “dalil Phyitaghoras”. Perminides dari Elea mengemukakan unsure “metafisika”, yaitu mempersoalkan “ada” yang berkembang menjadi “yang ada, sejauh ada” (being as being, being as such). Dari yang ada, ada,dan yang tak ada, mempunyai arti bahwa prulalitas itu tidak ada.
Filosof berikutnya kembali kepada pengalaman indrawi, antara lain Demokritos dan Leucippus yang bersama-sama memuat teori “atomisme”. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak bisa dibagi-bagi lagi, meskipun bentuk atom itu sendiri sangat kecil dan tidak Nampak oleh indra namun atom selalu bergerak membentuk realitas yang tampak oleh indra manusia.
Di lanjutkan pada masa kaum sofis, yaitu kaum yang pandai berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian utama kepada alam, tetapi menjadikan manusia sebagai pusat perhatian studinya. Tokohnya adalah Protagoras, dia memperlihatkan sifat-sifat relativisme (kebenaran bersifat relative), tidak ada kebenaran yang tetap, umiversal dan definitif. Benar, baik dan bagus selalu berhubungan dengan manusia, tidak manidiri sebagai kebenaran mutlak.
Selanjutnya adalah masa keemasan filsafat di Yunani yang dintadi dengan Socrates (470SM-399SM) yang menentang kaum sofis yang mengatakan bahwa kebenaran adalah sifatnya relative dan tidak mutlak. Namun menurut Socrates, kebenaran itu sifatnya mutlak, universal dan obyektif yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Metode yang digunakan olehnya adalah dengan bertanya secara radikal dan kritis kepada orang yang bersangkutran sampai orang yang ditanya dapat menemukan apa yan baik dan benar didalam dirinya sendiri. Keberanian, kejujuran dan keteguhannya dalam bersifat harus dibayar mahal olehnya dengan meminum racun sebagai hukuman mati karena dia dianggap menyebarkan kesesatan dan merusak moral pemuda dan masyarakat saat itu.
Dari caranya berfilsafat, ia mengembangkan secara de facto menjadi suatu metode yang dikenal dengan metode Induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dari peristiwa khusus yang diambil cirri-ciri khususnya kemudian dicari cirri-ciri umumnya hingga memperoleh suatu definisi terhadap sesuatu.
Jasa Socrates yang paling besar adalah mengembalikan tradisi filsafat Yunani yang sempat digoyahkan oleh kaum sofis. Socrates mempunyai murid dari kalangan bangsawan Yunani bernama Plato (427SM-347SM). Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut Akademia. Dia mengubah metode Socrates menjadi teori Idea. Menurutnya idea adalah bentuk mula jadi atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual dunia hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna/kekal. Oleh karena itu dalam filsafatnya plato menentang realisme karena yang dianggap benar menurut realisme adalah yang dapat diindra dan ada begitu saja, tapi kata plato obyek tersebut sebenarnya sudah ada di dalam idea yang nyata sedangkan  objek duniawi hanyalah tiruan dari dunia idea saja. Gagasan plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika.
Namun demikian logika ilmiah sesungguhnya baru saja terwujud oleh muridnya yaitu Aristoteles (384SM-322SM), karena dia lebih sistematis dalam berfilsafat. Dalam berfilsafat dia menggarap masalah kategori, struktur bahasa, hokum formal konsistensi proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, perbedaan atribut hakiki dengan bukan hakiki, kesatuan pemikiran, metode berdebat, kesalahan berpikir sampai menyentuh bentuk-bentuk dasar simbolisme.
2.        Periode Helenitas-Romawi
Masa ini tidak lepas dari peranan Raja Alexander Agung, uang membuat kebudayaan yunani menjadi kebudayaan Helenitas. Diera ini dibuka juga sekolah-sekolah baru mengalahkan Akademia plato dan Lykeion aristoteles, sehingga memunculkan banyak aliran-aliran baru seperti stoisisme, epikurisme, skeptisisme, ekletisisme, dan neoplatoisme.
Stoisme adalah mazhab yang didirikan oleh Zeno dari kition di Athena sekitar 300 SM. Nama “stoa” mengacu dari serambi bertiang empat tempat Zeno mengajar. Menurut stoisme jagat raya di ditentukan oleh “logos” yang berarti rasio dengan begitu seluruh kejadian jagat raya ini telah ditentukan dan tidak bisa dielakan dan jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu mengenali jagat raya. Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana jika menggunakan rasionya dalam mengendalikan diri nafsu-nafsunya secara sempurna. Mati dan hidup merupakan kejadian yang sudah ditentukan dan sifatnya mutlak.
Epikurisme dibangun epikueros (341SM-270SM) yang kembali memunculkan “Atomisme demokritos” bahwa segala hal terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan bertabrakan secara kebetulan sehingga terciptanya segala sesuatu. Dalam ajarannya terhadap manusia, dia berpendapat manusia bisa bahagia jika mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakut-takuti oleh dewa. Dengan begini manusia bebas dalam berkehendak untuk mencari kesenangan sepuas-puasnya tanpa harus memperdulikan dewa. Namun jika kesenangan yang manusia dapat terlalu banyak maka ia akn gelisah dan tidak tenang, oleh karena itu yang manusia itu sendiri harus bisa membatasi diri dalam mencari kesenangan itu sendiri agar memperoleh kesenangan yang hakiki yaitu kesenangan rohani.
Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (365SM-275SM), aliran ini mengajarkan keragu-raguan dan kesangsian terhadap sesuatu yang ada, walaupun sesuatu itu nyata adanya. Karena mereka menyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai bisa menemukan kebenaran yang mutlak.
Ekletisisme, Cicero (106SM-43SM). Aliran ini hanya sebagai penengah berbagai aliran filsafat bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan namun tidak sampai menggabungkan segala aliran filsafat itu kedalam satu pemikiran namun hanya menggunakan aliran-aliran tertentu pada kondisi tertentu dan tidak memihak kepada aliran apapun.
Neoplatoisme,sesuai dengan namanya aliran ini mencoba menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi dipengaruhi juga oleh aliran filsafat setelahnya seperti Aristoteles dan Stoa, oleh karena itu tidak lah heran jika aliran ini mensintesiskan semua aliran filsafat saat itu. Tokoh nya adalah Plotinos, aliran ini mengajarkan tentang hakikat adanya “yang satu” ayitu Allah. Artinya semuanya berasal dan kembali kepada “yang satu” sehingga menimbulkan gerakan dari atas kebawah dan dari bawah ke atas. Pada gerakan dari atas ke bawah, artinya taraf yang paling tinggi yaitu Allah mengelurkan taraf-taraf yang ada di bawahnya melalui jalan emanasi yang berarti tidak merubah dan mengurangi kesempurnaan “yang satu”. Prosesnya adalah seperti ini, dari yang satu dikeluarkan akal budi sesuai dgn gagasan Plato. Di dalam akal budi ada dualitas yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan. Dari akal budi melahirkan jiwa dunia (psyche) dan darinya dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe terciptalaj jagat raya. Sebagai taraf terendah, materi yang palin tidak sempurna dan merupakan pusat kejahatan.
Pada gerakan dari bawah keatas, setiap taraf-taraf yang dikeluarkan yang satu akan kembali menuju Allah, karena manusia memilii tiga taraf(akal budi, psyche, dan hyle) maka hanya manusialah yang mampu kembali pada yang satu. Cara kembalinya ada tiga cara yaitu: penyucian manusia dari materi ketika bertapa, penyatuan manusia dengan tuhan melebihi pengetahuan dan eksistensi.
3.        Periode Patristik
Istilah patristic berasal dari kata latin “patres” yg berarti bapak dalam lingkungan gereja. Dalam era ini, filsafat mulai disusupi oleh teologi kristiani, bahkan terjadi pertentangan juga dikalangan para pemuka agama Kristen ini dalam menanggapi filsafat. Ada tiga pendapat para bapak gereja dalam menanggapinya, pertama,setelah adanya wahyu ilahi melalui roh kudus seharusnya pemikiran filsafat di stop bahkan dihilangkan sama sekali karena dianggap menyalahi alkitab dan dianggap “kafir”. Kedua, berusaha untuk menengahi dan menggabungkan kedua pemikiran tersebut. Ketiga, filsafat merupakan langkah awal menuju pemahaman agama yang harus diterima dan dikembangkan.
Tokoh utama dalam filsafat ini adalah Augustinus, ia mengatakan bahwa pemikiran merupakan integrasi dari teologi Kristen dan pemikiran filsafatnya dan filsafat itu sendiri tidak bisa lepas dari iman Kristen. Inti dari filsafat ini hanya membahas 2 aspek yaitu tuhan dan manusia. Oleh karena itu maka pembahasannya mencakup hal-hal yg berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan dan sifat-sifat tuhan. Menurutnya manusia tidak akan sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (lumens) dari Allah, meskipun demikian dalam diri manusia sendiri sudah tertanam benih kebenaran yang merupakan pantulan terang allah sendiri yaitu hati nurani.
Sebenarnya para bapak gereja menggunakan pemikiran filsafat adalah guna memudahkan agama Kristen diterima oleh manusia dan mengembangkan agama Kristen itu sendiri. Namun pada pelaksanaannya agama Kristen itu sendiri yang mengurung dan mengekang pola pikir manusia dalam berfilsafat karena jika ada pemikiran yang ridak sesuai dengan alkitab maka akan langsung dihukum. Dari situlah nantinya akan muncul sekulerisme dikalangan eropa pada abad pertengahan yang memisahkan antara agama dan filsafat bahkan mereka melawan ajaran-ajaran Kristen dan menjadikan akal sebagai tuhan.
4.        Periode Islam
Filsafat Islam muncul akibat imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran buku-buku peradaban Yunani dan peradaban lainnya pada masa Daulat Abbasyiah dimana pemerintah memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan kedalam bahasa Arab ini, dan prestasi yang paling spektakuler adalah ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat sebagai mascot peradaban Yunani saat itu, baik Socrates, plato, Aristoteles maupun lainnya.
Namun Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristoteles atau Plato yang di bahasa arabkan, akan tetapi independen yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan filsafat Yunani. Hal ini dibuktikannya dari upaya para ahli ilmu kalam antara mu’tazilah dengan asy’ariah yang menjelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang rasional sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan. Dan adanya batasan filsafat masuk ke dalam agama yaitu filsafat tidak boleh dan haram hukumnya mengobrak-abrik akidah agama Islam, namun hanya boleh menguatkan akidah dengan cara memikirkan makhluknya saja dan tidak boleh memikirkan tentang dzatnya Allah Swt.
Tokoh-tokoh filosof ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd (averros), Ibnu Sina (Avicenna), dan Al-Farabi. Imbas filsafat masuk ke lngkungan Islam adalah munculnya ilmu-ilmu pengatahuan baru seperti ilmu falak, astronomi, pengobatan bahkan para ulama ahli dalam bidang tersebut berhasil membuat karya yang sangat berguna bagi manusia sampai saat ini. Bahkan inu sina dan ibnu rusyd terkenal di barat sana namanya.
5.        Periode Skolastik
Filsafat ini mempunyai corak semata-mata agama yang mengabdi kepada teologi yang mencoba mensintesa kan antara kepercayaan dan akal. Berbeda dengan patristic, skolastik hanya mengkaji teologi dan menggunakan filsafat sebagai pembuktiannya.
Tokohnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274M), menurutnya pengetahuan didapat melalui indra dan diolah akal tapi akal tidak mampu mencapai relitas tertinggi yang ada pada daerah tuhan. Filsafat inilah yang bisa memperkuat dalil-dali agama guna lebih mengabdi kepada tuhan.
Pembuktian Aquinas tentang adanya tuhan, pertama, dari sifat alam ini yang selalu bergerak dengan teratur membuktikan bahwa ada yang mengatur semua ini yaitu tuhan. Kedua, allah itu maha besar, sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar lagi. Ketiga, hal yang terbesar tentulah berada dalam kenyataan karena apa yang ada dalam pikiran saja tidak mungkin lebih besar. Keempat, allah tidak hanya berada dalam pikiran tetapi dalam kenyataan juga, jadi Allah benar-benar ada.
Pandangan etika Aquinas menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Dasar kebaikan adalah kemurahan hati yang lebih dari sekedar kedermawanan dan belas kasih melainkan terdapat didalam jiwa yang penuh cinta. Cinta kepada tuhan yang harus diutamakan baru cinta kepada sesama manusia.
6.        Periode Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini, masyarakat terutama di eropa mulai bosan dengan pembatasan pemikiran mereka terhadap sesuatu oleh gereja. Karena setiap ada suatu pendapat atau pemikiran yang tidak sesuai dengan paham gereja makan akan di kenakan hukuman dan di cap sebagai “kafir” oleh gereja.
Akhirnya manusia mulai mencoba memisahkan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Disini mulai adanya pencarahan dan kebebasan berpikir manusia dalam mencari suatu kebenaran. Namun dimasa ini filsafat masih jatuh bangun dari hasrat radikalisasi pemikirannya. Karena pada saat ini manusia masih mebutukan agama dan bimbingan gereja untuk menjalani hidup yang damai dan memperoleh ketenangan yang hakiki.
7.        Periode modern
Setelah hampir sepuluh abad Eropa diselimuti paham teologis yang memanipulasi kebenaran dan mematikan pemikiran bebas. Akhirnya munculnya suatu gerakan cultural yang bertujuan menggulingkan paham gereja yang selama ini mengekang mereka dalam mencari kebenaran dan berpikir bebas, gerakan ini disebut “renaisans” yang artinya kelahiran kembali. Semangat renaisans ini menimbulkan rasa kepercayaan pada otonomi manusia dalam mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan yang tadinya tidak berkembang akibat dominasi gereja mulai berkembang dengan pesatnya dimasa renaisans.
Kebenaran tidak lagi bersumber dari alkitab tetapi pada pengalaman empiris dan perumusan hipotesis yang rasional. Oleh karena itu, sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai oleh manusia yaitu, akal (rasio) dan pengalaman (empiris). Maka pada abad ini muncul dua aliran yang saling bertentangan yaitu antara aliran rasionalisme dan aliran empirisme. Perdebatan antara kedua aliran ini terus berlangsung dan mempengaruhi pemikiran filsafat setelahnya.
Tokoh dari aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650), aliran ini menyatakan bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio, hanya pengetahuan yang diperoleh akalah yang memenuhi syarat untuk dijadikan sumber pengetahuan. Pengalaman inderawi selalu diragukan, selalu berubah dan tidak pasti. Bisa saja kursi yang kita duduki adalah tidak nyata dan hanya mimpi belaka. Bahkan dia  sendiri meragukan akan kebenaran adanya dirinya sendiri. Makanya munculah “karena saya berpikir maka saya ada”. Kaum rasionalis selalu meragukan segala sesuatu dan tidak percaya akan pengalamannya sendiri. Pengalaman hanya bisa dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman, karena akal mampu menurunkan kebenaran dari akal sendiri. Dan metode yang digunakan adalah deduktif. Namun meskipun begitu, Descartes tidak menafikan tentang adanya tuhan karena menurut dia tuhan adalah “matematikawan agung” yang begitu rasional dalam menciptakan dunia ini secara terstruktur dan  wajib ditemukan oleh akal manusia dalam penciptaannya itu.
Aliran empirisme dengan tokohnya adalah David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa, pengalamanlah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal hanyalah mengolah bahan-bahan pengalaman yang diperoleh inderawi. Karena tidak ada satupun ada dalam pemikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi. Contohnya, kita tidak akan mengetahui bahwa api itu panas jika kita sendiri belum mencoba dan membuktikannya bahwa api itu panas. Oleh akal lalu disimpilkan bahwa api itu panas. Lalu munculah pengetahua baru berdasarkan pengalaman. Metode yang digunakan adalah induktif.
8.      Era baru dimulai
Era baru ini dimulai dengan “Kritisisme” Immanuel Kant (1724-1804) yang berusaha mendamaikan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan perpaduan antara unsur a priori dengan unsur aposteriori. Kant berpendapat bahwa pada taraf inderawi unsur apriori hanyalah kesan yang diterima oleh inderawi sebagai gejala-gejala. Kemudian data-data inderawi tersebut diolah oleh sesuatu yang disebut “akal budi”. Peran akal budi disini adalah memberi putusan-putusan yang kemudian ditransmisikan kedalam otak. Dan oleh otaklah yang akan memilih dan mengesahkan putusan-putusan yang dibuat akal budi. Ibaratnya pengalaman adalah suatu soal pilihan ganda, pilhan-pilihan ganda itu adalah putusan-putusan yang dibuat akal budi kemudian yang bertugas memilih jawaban yang paling benarnya adalah rasio kita.
Selanjutnya adalah Idealisme yang Tokohnya adalah G.W.F. Hegel (1770-1831). Menyatakan bahwa “setiap Tesa pasti ada Antitesa nya dan dari keduanya akan mengahasilkan Sintesa yang memiliki gabungan sifat dari tesa dan antitesanya tapi sintesa bukanlah tesaaupun antitesa”. Sebagai contohnya, suatu golongan menginginkan Negara menguasi segala urusan agama. Pandangan ini mempunyai dampak positif yaitu adanya kesatuan antara kekuatan dan kekuasaan politik karena tidak ada batasan agama sehingga ketertiban suatu Negara bisa terwujud, ini yang disebut tesa. Antitesa dari pernyataan ini ialah kebebasan agama ditiadakan karena agama harus tunduk kepada pemerintah. Lalu sintesa bagi kedua pendapat tersebut adalah memisahkan antara agam dan pemerintah, baik agama maupun pemerintah harus diberi bagiannya masing-masing, sehingga ketertiban nasional terjamin dan kebebasan agama pun terjamin juga karena tidak tercampur antara kepentingan agama dengan kepentingan politik.
Era ini dilanjutkan dengan munculnya paham Positivisme yang dipopulerkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Dia menganggap hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan social dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hokum-hukum itu. Sehingga Auguste comte menemukan ilmu baru tetntang masyarakat yaitu “sosiologi”. Positivism erat kaitannya dengan empirisme namun berbeda dengan empirisme yang menjadikan pengalaman batiniah dan lahiriah sebagai sumber pengetahuan. Positivism hanya mengambil yang berdasarkan fakta saja.sebagai contoh, air mendidih 100° C dan besi ini panjangnya 10 meter. Ukuran-ukuran ini perasional, kuuantitatif dan tidak mungkin adanya perbedaan pendapat. Positivisme merupakan aliran tertinggi dari kehidupan manusia karena manusia tidak perlu lagi mencari penyebab-penyebab dari suatu fakta. Manusia hanya berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Dan disinilah ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Aliran yang muncul kemudian adalah Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938), inti filsafatnya adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri yaitu hakikat dirinya sendiri. Akan tetapi benda-benda itu tidak langsung memperlihatkan hakikat sendirinya, karena pemikiran pertama tidak membuka tabir yang menutupi hakikat maka diperlukannya pemikiran kedua yang berupa “intuisi”. Dalam menggunakan intuisi digunakan suatu metode yang disebut reduksi yaitu penempatan sesuatu di antara dua kurung. Maksudnya, melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Tujuannya adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Namun fenomenologi mempunyai kelemahan karena dalam menentukan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh apapun, tapi fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai tetapi bermuatan nilai dengan kata lain status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif.
Aliran selanjutnya adalah Eksistensialisme, tokohnya adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900). Gagasan utama dari dia adalah kehendak berkuasa (will to power) dimana ditunjukan menjadi ubermensch atau manusia super. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok kesebrang dunia, dengan kata lain tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. Sedangkan eksistensi itu sendiri adalah cara manusia berada didalam dunia dan keberadaannya karena setiap orang mempunyai tempatnya sendiri dalam kehidupan ini yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jadi jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu, karena melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan sendiri mengandung cirri kepalsuan yang menjijikan. Doktrin aliran ini adalah “eksistensi mendahului esensi” yg berarti setelah manusia berada didunia ini, di sendiri yang harus menentukan siapa dirinya ini. Karena pada awalnya manusia bukanlah apa-apa tanpa bereksistensi.
Cara mencapai manusia super adalah dengan cara mereka harus berani menghadapi kehidupan ini baik saat bahagia maupun sedih. Mereka harus cerdas dalam menjadikan penderitaan itu sebagai titik balik untuk memunculkan potensi maksimal dirinya, terakhir dia harus bangga terhadap potensi apa yang dimilikinya.

Logika dan Mantiq
Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran. Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat.
Berbagai kenyataan di lapangan yang ditemukan penulis seputar berpikir kritis, analitik, dan logic, jauh dari harapan penulis bagi sebuah masyarakat modern yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kebutuhan dalam kehidupannya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal pikiran benar-benar menganjurkan ummatnya untuk melakukan apapun dengan landasan ilmiah yang memiliki akurasi data yang baik, dan benar. Sehingga ditemukan pemahaman “BAL” dalam bertindak; Benar-Akurat-Lengkap. Filsafat melalui salah satu cabangnya, memberikan jalan keluarnya dengan istilah logika yang juga banyak dikenal di dunia Islam dengan istilah mantiq, yang juga memiliki cabang alat berfikir runtut yang dikenal dengan silogisme.
1.      Pengertian
Ilmu merupakan satu kata yang memiliki banyak arti. Ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang diketahui dan yang dipercayai secara pasti dan sesuai dengan kenyataan yang muncul dari satu alasan argumentasi dalil. Selain itu ilmu juga berarti gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu. Seperti kambing, kuda dan lain-lain. Jika kambing disebut maka muncullah gambaran pada akal dengan sendirinya. Ilmu seperti ini disebut ilmu tashawwur. Diantara fungsi ilmu ialah untuk menelusuri segala sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya atau tidak.
Pada dasarnya pengertian ilmu mantik telah banyak didefinisikan oleh para Ulama’, dan pakar ilmu mantik dengan pengertian yang beragam, meskipun pada hakikat dan tujuannya adalah sama yaitu mengungkapkan makna mantik sebagai suatu kata yang dibakukan untuk sebuah disiplin ilmu. Ilmu mantik meruakan bahasa arab dan meruakan terjemahan dari kata logika, oleh sebab itu ilmu mantik juga bisa disebut sebagai ilmu logika. Dalam kaitaannya dengan pengertian ilmu mantik, seperti yang telah penulis kutip dari bukunya Prof. Dr. H. Baihaqi A.K, yang berjudul “Ilmu Mantik”: Teknik berfikir logik”, dalam bukunya tersebut, Baihaqi mengungkapkan bahwasannya ilmu mantik adalah merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia dalam berfikir, supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga dia terhindar dari kesalahan berfikir, yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah dan keliru.
Sedangkan mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa arab “nataqa” yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin “logos” yang berarti perkataan atau sabda.
Pengertian mantiq menurut istilah ialah:
a.         Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan berpikir.
b.        Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang salah.
Ilmu mantiq sering disebut bapak segala ilmu atau dikatakan ilmu dari segala yang benar karena ilmu mantiq ialah sebagai alat untuk menuju ilmu yang benar, atau karena ilmu yang benar perlu pengarahan mantiq.
2.      Pembagian Ilmu
Telah kita bahas di awal bahwa yang dimaksud tashawur ialah gambaran yang ada pada akal manusia secara langsung dengan sendirinya tanpa membebani dengan sifat atau hukum lain. Tashwur ada dua macam:
a.       Tashwur yang tanpa penisbahan hukum yang berdiri sendiri atau tunggal/mufrad. Tasawwur ini disebut tashawur asli (sadz).
Tashawur ashli meliputi tiga bentuk:
1)        Bentuk makna mufrad. Seperti manusia, kayu, batu, besi, dan lain-lain.
2)        Bentuk murakkab, idhafah, seperti kebun binatang, sepatu gajah dan lain-lain.
3)        Bentuk sifat-sifat murakkab, seperti manusia yang berfikir, hewan yang berakal dan lain-lain.
b.      Tashwur yang mempunyai nisbah hukum yang demikian, disebut tashdiq. Contohnya seperti manusia itu penulis, bunga itu bagus. Yang dimaksud hukum disini ialah tersandarnya sesuatu pada yang lain. bisa berbentuk ijab atau mujabah atau berbentuk salibah.
c.       Al-nisbah al-Hukumiyah, yakni, hubungan antara Mahkum alaih dengan mahkum bih. Mahkum Alaih: Al-Hukmu, yakni adanya penisbahan atau tercabutnya ) tidak adanya).
3.      Sejarah Singkat
Logika (mantiq) sebagai ilmu di Yunani pada abad ke 5 SM oleh para ahli filsafat kuno. Dalam sejarah, telah tercataat bahwa pencetus logika ialah Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh Plato dan disusun dengan rapi sebagai dasar falsafat oleh Aristoteles. Oleh sebab itu beliau dinyatakan sebagai guru pertama dari ilmu pengetahuan.
Pada masa selanjutnya, terdapat perubahan-perubahan seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi, salah satu filsuf muslim yang sering dinyatakan sebagai maha guru kedua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ilmu mantik dipelajari lebih rinci dan dipraktekkan, termasuk dalam pentasdiqan qadhiyah.
Tokoh-tokoh lagika/ilmu mantiq kaum muslim yang tercatat oleh para pakar-pakar di antaranya: Abdullah Ibn Al-Muqaffa, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Kindi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdillah Al-Khawarizmi, Al-Tibrisi, Ibnu Bajah, Al-Asmawi, As-Samarqandi, dan lain sebagainya.
Ilmu mantiq banyak membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Seperti yang dilakukan Immanuel kant, Descartes, dan yang lainnya.
4.      Manfaat/Kegunaan
Kegunaan yang sangat Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat berfikir dengan benar hingga sampainya seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi yang kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang.
Jika demikian, kesimpulannya ialah setiap orang harus mempelajari ilmu mantiq agar dalam mengambil kesimpulan seseorang tak lagi salah. Ilmu mantiq yang menuntun mereka untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Karena bisa saja seseorang melakukan kesimpulan yang benar tanpa melalui ilmu mantiq. Itu mungkin saja kebetulan, karena yang dapat menghasilkan kesimpulan atau hasil akhir yang benar adalah ilmu mantiq. Oleh sebab itulah ilmu mantiq disebut sebagai jembatan dari segala ilmu.    
                                      

Pengetahuan dan Ilmu[1]       
Pengetahuan[2] adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu[3]. Dalam perkembangannya pengetahuan[4] manusia berdiferensiasi menjadi empat cabang utama, filsasat, ilmu, pengetahuan dan wawasan. Untuk melihat perbedaan antara empat cabang itu, saya berikan contohnya: Ilmu kalam (filsafat), Fiqih (ilmu), Sejarah Islam (pengetahuan), praktek Islam di Indonesia (wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya bukanlah ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.
Setiap ilmu (sains) adalah pengetahuan (knowledge), tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu. Ilmu[5] adalah semacam pengetahuan yang telah disusun secara sistematis. Bagaimana cara menyusun kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu?[6] Jawabnya pengetahuan itu harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan, dibesarkan dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan metode ilmiah. Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki pengetahuan yang banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika, matematika, statistika dan bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak itu diolah oleh suatu metode tertentu. Metode itu ialah metode ilmiah. Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan juga untuk menyusun pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan menarik pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.
Untuk bepengetahuan seseorang cukup buka mata, buka telinga, pahami realitas, hafalkan, sampaikan. Adapun untuk berilmu, maka metodenya menjadi lebih serius. Tidak sekedar buka mata, buka telinga, pahami realitas, hafalkan, sampaikan, secara serampangan. Seseorang yang ingin berilmu, pertama kali ia harus membaca langkah terakhir manusia berilmu, menangkap masalah, membuat hipotesis berdasarkan pembacaan langkah terakhir manusia berilmu, kemudian mengadakan penelitian lapangan, membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya barulah ia mencapai suatu ilmu. Ilmu yang ditemukannya sendiri.
Apa maksud “membaca langkah terakhir manusia berilmu” ? Postulat ilmu mengatakan bahwa ilmu itu tersusun tidak hanya secara sistematis, tetapi juga terakumulasi disepanjang sejarah manusia. Tidak ada manusia, bangsa apapun yang secara tiba-tiba meloncat mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar pengetahuan sebelumnya. Katakanlah bahwa sebelum abad renaisansi di Eropa, bangsa Eropa berada dalam kegelapan yang terpekat. Karena larut dalam filsafat skolastik yang mengekang ilmu dan peran gereja. Para ilmuwan dan para filsafat abda itu tentu memiliki guru-guru yang melakukan pembacaan terhadap mereka tentang sampai batas terakhir manusia berilmu di zaman itu. Ilmu kimia abad modern sekarang adalah berpijak pada ilmu kimia, katakanlah abad 10 masehi yang berada di tangan orang-orang Islam. Dan ilmu kimia di abad 10 masehi itu tentu bepijak pula pada ilmu kimia abad 3500 tahun sebelum masehi, katakanlah itu misalanya dari negri dan zaman firaun.

Teknologi dan Seni[7]
   ADAKAH hubungan antara seni dan teknologi? Seni dan teknologi adalah ekspresi budaya suatu masyarakat. Seni mempersoalkan manusia, masyarakat, dan kehidupan. Begitu pula teknologi mempersoalkan manusia, masyarakat, dan kehidupan serta ekonomi, ilmu pengetahuan, politik. Teknologi itu kebudayaan dan seni juga kebudayaan. Teknologi dan seni sama-sama bertanya tentang dirinya: apakah seni itu?, apakah teknologi itu?, apa makna seni, apa makna teknologi?, untuk apa seni dan untuk apa teknologi?.
Kebudayaan membuat manusia semakin manusiawi. Kebudayaan membuat kehidupan ini lebih bermakna. Manusia menghargai teknologi dan seni karena bermakna bagi kesempurnaan hidupnya. Hanya mereka yang melihat seni dan teknologi secara wadah, hardware belaka, tidak mampu melihat hubungan seni dan teknologi. Di belakang yang hardware selalu ada software. Pada setiap yang tangible selalu ada yang intangible. Dan yang nampak itu selalu digerakkan oleh yang tak nampak. Semua kebudayaan itu, seni dan teknologi, terwujud akibat munculnya gagasan, idea, imajinasi pada diri manusia. Jadi, perbedaan seni dan teknologi sebenarnya hanya pada wujud saja, pada hardware teknologi dan seni. Namun keduanya bertolak dari sumber yang sama: otak manusia.
Penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi bukan jenis manusia yang "dingin budaya". Rata-rata mereka penikmat seni yang tidak sembarangan, artinya karya-karya seni yang mengangkat harkat budaya manusia. Mereka mampu memilih karya-karya seni yang sejajar dengan kecerdasan teknologinya. Mereka yang kreatif dalam teknologi menghadapi kretivitas seni. Sebab, ada teknologi "pertukangan" dan seni "pertukangan". Tingkat pertukangan itu cuma "menghafal" kreativitas orang lain. Mereka ini tidak peduli apakah berdampak merugikan manusia atau membahagiakan manusia. Sedangkan teknologi kreatif selalu berdasarkan pertimbangan kreativitas budaya.
Intinya adalah persamaan software, intangible, dan imajinasi pikiran. Keduanya membutuhkan kreativitas. Teknologi sejati itu kreatif, dan seni sejati itu kreatif. Kreatif itu menemukan nilai-nilai baru yang positif bagi perkembangan manusia. Teknologi dan seni yang tidak kreatif itu cuma tingkat craft belaka. Mengulang-ulang apa yang diciptakan dan ditemukan orang-orang lain yang lebih orisinal.
Jadi persamaan teknologi dan seni ada pada kerja kreatifnya. Teknologi tukang dan seni tukang tidak akan nyambung. Keduanya akan aman-aman saja hidup bertetangga tanpa menghiraukan satu dengan yang lain. Yang membuat bom nuklir sibuk dengan dirinya, dan yang memikirkan makna manusia dan dunia juga tak peduli tetangganya sedang membuat benda yang akan membinasakan sekian juta umat manusia. Ketika bom itu benar-benar buat sengsara begitu banyak manusia, ilmuwan dan teknologi mulai berpikir mendalam tentang makna temuan mereka.
Anak-anak yang belajar teknik tidak sedikit yang tertarik pada seni. Ketertarikannya mereka pada seni bukan jenis yang suka iseng dengan seni, tetapi serius dan kreatif dalam berkesenian, seperti layaknya mahasiswa seni. Mereka ini justru sering bikin kaget dunia seni, akibat disiplin otaknya yang sudah matematis. Mahasiswa seni sebaliknya bukan hanya berurusan dengan imajinasi. Hanya peduli software karena teknik seninya memang sederhana saja. Mahasiswa seni juga perlu software teknologi. Mereka perlu matematika.
Kembali lagi, bahwa dasar keberagamaan dan kesamaan antara teknologi dan seni adalah kebudayaan. Dan kebudayaan itu pada akhirnya bermuara pada filsafat, atau setidak-tidaknya pertanyaan filosofis. Apakah mesin itu? Apa makna mesin bagi saya? Apa bagi manusia? Untuk apa mesin ada? Pertanyaan-pertanyaan yang sama ini tak pernah disatukan. Bahwa keduanya saling membutuhkan.
Masalahnya tiadanya taksonomi ilmu-ilmu teknologi dan taksonomi ilmu-ilmu seni. Seni itu memiliki sejumlah besar cabang-cabang ilmu, begitu pula teknologi dan ilmu-ilmu lain. Dalam jabaran taksonomi ilmu masing-masing itulah akan ditemukan relasi antara ilmu-ilmu teknologi dan seni. Pada waktu itulah dosen teknik mengajar di fakultas seni, dan fakultas seni membutuhkan segi tertentu ilmu teknologi. Keduanya saling mengisi dan keduanya saling memperkaya. Bukan lagi minyak dengan air. Kebudayaan, teknologi dan seni, tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan umat manusia, kesejahetraan bangsa.
Kebudayaan, teknologi, dan seni, adalah dunia tanggapan terhadap realitas kehidupan. Dan realitas kehidupan itu berdenyut di sekitar mereka menghirup kehidupan. Teknologi dan seni itu menjawab realitas. Indonesia sekarang ini mungkin lebih membutuhkan becak bermesin dari pada jenis mobil modern Proton. Lebih murah, lebih praktis, lebih bermakna bagi bangsa. Tetapi siapa yang peduli?[8]
Masalah Indonesia itu bukan masalah Eropa atau Amerika. Dengan demikian, harus dijawab secara Indonesia pula. Tentu saja kita tidak boleh terus menimba yang universal itu. Namun, tidak kita telan mentah-mentah sebagai bagian dari jawaban persoalan kita sendiri. Tugas intelektual Indonesia itu dobel, menimba ilmu-ilmu mutakhir mondial, dan menerjemahkan untuk persoalan kita sendiri. Teknologi dan seni itu hubungannya adalah kreativitas. Indonesia memerlukan seniman teknologi, dan seniman membutuhkan teknologi-seni.       
                                                  
Agama dan Kebudayaan    
   Agama[9] dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa agama dan kebuadayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah sebenarnya agama[10] dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada kebudayaan[11]. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat. 
Geertz (1992:13), mengakatan bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, keduanya[12] justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ”Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”. Agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
Jika kita teliti budaya Indonesia, budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradaban yang menekankan pembebasan rohani agar Atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut balasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.                                

Peradaban dan Kerusakan
Salah satu aspek penting dalam peradaban Islam adalah peran utama akhlak dan spiritual. George Zaidan, penulis Kristen asal Lebanon menulis, "Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw setelah tiba di Madinah adalah menciptakan persaudaraan antara Mekkah dan Madinah. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar merupakan bentuk persatuan Islam yang dicanangkan Rasulullah." Menurut Zaidan, Islam dari awal menekankan moral dan spiritual.
 Kategori agama dan moral adalah dua hal yang berhubungan erat dengan kebudayaan dan peradaban. Kedua hal itu juga berperan penting dalam mengagungkan kebudayaan dan peradaban. Sebagian besar pemikir kontemporer sepakat bahwa meski Barat sukses di bidang teknologi dan sains, tapi terpuruk dari sisi moral. Dengan ungkapan lain, Barat dari sisi peradaban, sama sekali tidak berkembang, bahkan malah terjebak dalam dekadensi. Sebagian besar pemikir juga meyakini bahwa peradaban Barat terpuruk karena tidak perhatian pada moral dan spritual.
 Penulis asal AS,Patrick J. Buchanan , dalam bukunya, Death of the West, melontarkan sebuah pertanyaan,"Mengapa masyarakat yang berkembang dari sisi sains dan teknologi, berada dalam kondisi sekarat?"
Para pakar dalam mengamati keterpurukan peradaban Barat mempunyai berbagai pendapat. Pemikiran yang berkuasa di Barat setelah Renaissance, berlandaskan pada tiga ideologi, yakni humanisme, liberalisme dan sekularisme. Dalam pandangan humanisme, manusia dipahami sebagai eksistensi independen yang tidak membutuhkan peran ilahi dan hidayah Tuhan. Selain itu, kebudayaan Barat yang berlandaskan liberalisme dan individualisme, menolak nilai-nilai dan prinsip akhlak dan spritual. Penolakan terhadap nilai-nilai moral itu tentunya berakibat buruk pada kebudayaan Barat. Tak diragukan lagi, perilaku amoral adalah imbas menyampingkan moral dan spritual.
Selain itu, Barat juga berlandaskan pada ideologi sekuler yang menegaskan kecendurungan pada dunia. Salah satu dampak penting sekularisme adalah penolakan peran agama dalam bidang pemerintahan dan sosial. Humanisme, sekularisme dan liberalisme adalah pemikiran-pemikiran yang berkembang di Barat yang tentunya berpengaruh pada kondisi masyarakat.
Buchanan dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan terkait keterpurukan peradaban Barat di tengah kemajuan sains dan teknologi, mengatakan, "Peradaban ini terpuruk karena berlawanan dengan moral dan spiritual. Barat bahkan mengutuk semua hal yang berhubungan dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Pada dasarnya, ideologi Barat bertentangan dengan karakter manusia dan natural."
Menurut Buchanan, penyimpangan moral dan penghapusan agama di dunia kehidupan manusia dapat disebut sebagai faktor utama dekadensi peradaban Barat. Ia dalam tulisannya menyebutkan, "Pada tahun 1983 ada pembahasan terkait krisis kedokteran di Gedung Putih. 600 warga AS tewas karena AIDS. Kelompok homoseksual menyatakan perang terhadap alam, dan alam juga menghukum mereka dengan hukuman terburuk. Hingga kini terdapat ratusan ribu penyandang HIV dan mereka hanya bisa bertahan hidup dengan konsumsi Green Cocktail (GC). Revolusi seks telah dimulai untuk memusnahkan generasi manusia. Aborsi, perceraian, penurunan tingkat kelahiran, bunuh diri di kalangan para pemuda, konsumsi narkotika dan kekerasan atas perempuan dan kaum lanjut usia, seks bebas dan puluhan masalah lainnya. Semua itu menunjukkan keterpurukan peradaban Barat."
 Penulis asal AS menilai heroin sebagai hal yang berpengaruh pada peradaban Barat. Heroin pada awalnya dapat menenangkan seseorang, tapi setelah mengendap di tubuh manusia akan menghancurkannya. Penulis asal AS, Kenneth R. Minogue, dalam salah satu bukunya menulis, "Karena jauh dari moral, kami tidak dapat mengklaim bahwa peradaban Eropa dan Barat terbaik."
 Pada prinsipnya, ketika moralitas dipertahankan di tengah masyarakat dan semua nilai akhlak dihargai, maka kesejahteraan dan kelestarian masyarakat itu akan terjamin. Dr Velayati dalam bukunya, Pouya-e Farhang va Tamadun-e Islam va Iran, mengatakan, "Jika masyarakat mencapai pada peradaban yang dapat diterima, tapi tidak menghormati undang-undang, maka peradaban itu akan lemah yang kemudian berujung pada instabilitas. Saat itu, masyarakat akan kehilangan pilar-pilar peradaban."
 Segala fenomena sosial dan segala hal yang berhubunagn dengan manusia, termasuk peradaban, mempunyai kondisi pasang surut. Sejumlah pakar meyakini bahwa setiap peradaban di sepanjang perjalanannya melewati masa-masa yang terkadang pasang dan surut. Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, moral dan spritual dapat menjadi penyebab perkembangan peradaban dan kebudayaan. Sebaliknya, masyarakat yang mengabaikan moralitas, tak akan bertahan lama. Masyarakat itu akan dihadapkan pada keterpurukan yang serius.
 Salah satu contoh yang jelas adalah nasib buruk yang dialami umat Islam di Andalusia. Menurut sejumlah pengamat, penyimpangan terhadap akhlak dan nilai-nilai Islam adalah salah satu faktor keterpurukan kekuatan umat Islam di Andalusia. Padahal agama Islam selalu menekankan nilai-nilai mulia dan moralitas. Dalam sejarah nabi disebutkan bahwa salah satu alasan hijrahnya Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah adalah upaya menjaga jarak Rasulullah Saw dari tradisi Jahiliah.
 Masih mengenai faktor bobroknya sebuah peradaban, pakar sejarah asal AS, Will Durant menyebut konfrontasi antara ilmu dan nilai sebagai penyebab keterpurukan peradaban. Pernyataan serupa juga ditegaskan pakar sejarah muslim Ibnu Khaldun.
 Penyebab lainnya keterpurukan peradaban adalah tidak adanya persatuan dan solidaritas masyarakat. Penulis sejarah asal Iran, Abdolhossein Zarrin Koub menyebut tidak adanya persatuan dan solidaritas sebagai penyebab hancurnya peradaban. Ia juga berpendapat bahwa sikap toleransi malah dapat mengokohkan peradaban masyarakat.
 Menurut penulis asal Iran itu, peradaban Islam mulai terpuruk sejak periode Dinasti Bani Umayah yang menekankan konsep rasis bahwa bangsa Arab lebih unggul dari bangsa non Arab. Selain itu, kerusakan dan hedonisme menurut Zarrin, juga menjadi penyebab lain keterpurukan peradaban. Praktik kerusakan dan hedonisme mulai mengemuka dan menonjol di masa Dinasti Bani Umayah yang juga menjadi faktor kehancuran peradaban Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.
 Serangan budaya asing juga dapat dikatakan faktor lain keterpurukan kebudayaan dan peradaban. Budaya Barat terus menyerang negara-negara yang mempunyai peradaban Islam. Serangan bangsa Mongol ke negara-negara Islam dan perang-perang besar seperti Perang Salib disebut-sebut sebagai contoh jelas serangan budaya terhadap negara-negara Islam. Akan tetapi umat Islam dalam perang-perang semacam ini tidak mudah tunduk. Meski pada awalnya dikuasai, tapi umat Islam setelah beberapa waktu, dapat mempertahankan budaya Islam. Jika memperhatikan sejarah, kita akan menyaksikan bahwa umat Islam benar-benar berusaha keras mempertahankan kebudayaaan dan peradaban Islam. Ini menunjukkan bahwa budaya yang ditanamkan Islam tidak mudah sirna.  
                          
Kedamaian dan Peperangan          
   "Jika semua orang menginginkan perdamaian dan tak seorang pun menginginkan peperangan, mengapa sampai sekarang semua orang terus berperang dan kita sama sekali tak merasakan adanya perdamaian yang sesungguhnya di dunia ini ?"
Kita sadar bahwa terlalu banyak perbedaan yang terjadi di dunia ini. Antara satu individu dengan satu individu yang lain bahkan sudah terlalu banyak hal yang berbeda, antara dua anak kembar identik bahkan dapat kita temukan berbagai macam perbedaan yang mereka miliki, apalagi perbedaan antar kelompok yang ukurannya jauh lebih besar yang jelas-jelas sangat berbeda dalam segala hal.
 Orang biasa mengatakan perbedaan itu menunjukkan bahwa setiap orang adalah unik, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan makanya harus saling melengkapi. Tapi kenyataannya perbedaan hanya menimbulkan konflik dan peperangan. Hal ini terjadi karena meskipun kata-kata manis tentang perbedaan itu telah diucapkan, setiap orang tetap saja masih sulit untuk menghargai hal tersebut. Dalam realitanya memang konflik bagi kita untuk menerima perbedaan yang ada.
 Untuk menyederhanakan ini semua, saya akan menjabarkan dalam skala yang lebih kecil. Kita dalam kehidupan sehari-hari pasti sering melihat berbagai orang yang berbeda dengan kita. Suku, Agama, Ras/Subras, Kebudayaan, Pendapat, Ideologi-Idealisme, Sudut Pandang, Keinginan, Kebutuhan, Karakter, Perilaku, Hobi, dan masih banyak lagi. Semua perbedaan itu baik langsung maupun tidak langsung telah melahirkan konflik di antara kita. Sebagai contoh nyata:
1)        Jika kita berasal dari suatu agama tertentu (misal: agama A) tiba-tiba harus berinteraksi dengan orang dari agama lain (misal: agama B) apalagi melihat orang dari agama B itu melakukan ritual keagamaannya, pasti di hati kita sudah ada perasaan yang agak mengganjal terhadap orang itu. Bahkan sebelum mengenal orang lain yang berbeda agama pun kita sudah memiliki paradigma yang buruk tentang siapa pun yang berbeda agama tersebut (siapa pun yang agamanya berbeda dari kita, pasti buruk).
2)        Jika kita berasal dari suku tertentu (misal suku A), pasti kita sudah memiliki pemikiran bahwa suku kita adalah yang paling baik dan kita pun sudah memiliki pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran yang negatif tentang suku lain (melabelkan suatu suku tertentu dengan suatu sifat buruk atau celaan).
3)        Jika kita berasal dari ras/subras tertentu (misal: ras/subras A) tiba-tiba mengenal/melihat dan berinteraksi dengan orang berbeda ras/subras, pasti kita pun langsung memiliki perasaan yang mengganjal atas perbedaan yang ada antara kita dengan orang tersebut berdasarkan ras/subras masing-masing (misal: warna kulit, bentuk rambut).
4)        Jika kita memiliki paradigma dan pola pikir yang berbeda dengan orang lain, pasti kita langsung merasa kurang suka dengan orang tersebut dan lalu muncul keinginan kita untuk mempengaruhinya agar kemudian orang tersebut memiliki paradigma dan pola pikir yang sejalan dengan kita.
5)        Jika kita memiliki hobi dan karakter yang berbeda dari seseorang, kita langsung merasa kurang cocok dengan orang tersebut sehingga dari rasa tidak cocok itu kita mulai merasa tidak suka dengan orang tersebut.
Semua perbedaan yang ada itu sama sekali tidak melahirkan rasa kebersamaan di antara kita melainkan konflik yang awalnya hanya secara pribadi dan dipendam yang kemudian akhirnya bisa meluas. Hal inilah yang kemudian melahirkan perang di dunia ini, sebuah perasaan yang menyatakan bahwa yang berbeda harus mati dan tidak pantas untuk berada di dunia ini hanya karena tidak sama.
Kenyataannya, memang tidak ada satu pun solusi bagi masalah ini, karena secara serempak semua orang di dunia tanpa terkecuali melakukan hal tersebut. Walaupun awalnya tampak sebagai hal yang sepele, tetapi akhirnya bisa melahirkan masalah yang sangat besar.
Meskipun demikian, tak ada salahnya bagi kita menyadari dan perlahan-lahan belajar untuk mengurangi konflik dari perbedaan tersebut karena sesungguhnya seluruh perbedaan yang ada di dunia ini hanyalah Ilusi semata. Semua hal yang ada sangat terlihat sebagai hal yang saling berbeda satu sama lain, tapi pada dasarnya semua hal tidak yang berbeda, semuanya sama. Yang membuat hal-hal itu tampak berbeda hanyalah bagaimana alat indera kita menanggapi dan kemudian otak kita merespon hal tersebut. Ya, sesungguhnya semua berbeda karena menurut penglihatan dan pendengaran kita semua itu adalah hal yang saling berbeda satu sama lain.
Jika perbedaan melahirkan perang, perang melahirkan penderitaan, maka perbedaan adalah melahirkan penderitaan. Jika dengan melihat dan mendengar hanya akan melahirkan perbedaan, maka melihat dan mendengar pun hanya akan melahirkan penderitaan, berarti melihat dan mendengar adalah sumber penderitaan. Maka jika kita ingin menghilangkan semua penderitaan itu, berarti kita semua harus menjadi buta dan tuli agar tidak ada perbedaan. Tidak bisa melihat dan mendengar berarti tidak ada perbedaan. Tidak ada perbedaan berarti tidak ada perang dan kebencian. Tidak ada perang dan kebencian berarti tidak ada penderitaan. Tapi apakah dunia seperti itu yang kita inginkan? Apakah kita menginginkan dunia yang gelap dan sepi tanpa cahaya?
Kita semua melihat hal ironis yang terjadi saat ini, yaitu ketika dunia ini menyatakan bahwa semua orang menginginkan perdamaian, di saat yang sama semua orang pun memegang senjata masing-masing. Menginginkan perdamaian tapi menggenggam senjata dan siap untuk menyerang? Sungguh hal yang sangat konyol. Mungkin ada yang beralasan bahwa jika tidak memegang senjata, maka tidak akan bisa melindungi dan mempertahankan diri bila suatu saat ada yang menyerang. Tapi menurut saya jika semua orang mengatakan hal seperti itu, berarti mereka semua telah berprasangka buruk satu sama lain. Bagaimana mungkin dunia ini bisa damai jika semua orang saling berprasangka buruk seperti itu?
Ketika ada yang menyerang kita, dikatakan kepada kita untuk mempertahankan diri demi nyawa kita dan mereka yang ingin kita lindungi dan demi harga diri kita. Sungguh suatu definisi yang gamblang bahwa yang dimaksud mempertahankan diri di sini adalah menyerang balik karena jika tidak membunuh lawan maka kitalah yang akan dibunuh. Tapi di sini saya mengatakan bahwa membunuh karena ada yang dibunuh, dibunuh karena membunuh. Apakah dengan seperti itu dunia ini bisa menjadi damai? Jika kita menyakiti anak seorang ibu, maka ibu itu akan marah kepada kita karena kita menyakiti anaknya. Sebaliknya, jika ibu itu menyakiti kita maka orangtua kita akan marah terhadap ibu itu.
Apapun alasannya manusia menyakiti satu sama lain, itu tetaplah hal yang tidak dibenarkan. Jika memang ada yang ingin kita lawan bukanlah mereka yang berbeda dari kita, melainkan orang-orang yang menghendaki peperangan itu sendiri. Jika memang ingin melawan bukanlah dengan konfrontasi karena peribahasa pun menyatakan banyak jalan menuju roma. Bukanlah dengan kebencian kita saling melengkapi, melainkan dengan cinta. Jika kita ingin saling mencintai, maka kita harus bisa saling berbagi dan mengerti satu sama lain. Hanya ketulusan seseoranglah yang bisa menyentuh hati orang lain. Tak ada orang yang jahat di dunia ini, yang ada hanyalah mereka yang belum merasa kebaikan dari orang lain, belum merasakan kebaikan dari sesuatu yang berbeda dari mereka. Maka kita haruslah menunjukkan kebaikan itu dengan tulus.
Perbedaan yang ada di antara kita tidak lebih hanyalah merupakan warna-warni dunia yang menghiasi kehidupan yang bernaung di bawah langit biru. Apakah salah jika berbeda? Memangnya ada yang menghendaki perbedaan? Memangnya ada yang ingin dilahirkan berbeda dari yang lainnya? Tapi jika suatu lukisan hanya terdiri dari satu warna, apakah akan indah lukisan tersebut? Hendaknya kita semua memaknai perbedaan tersebut dengan penuh perenungan bahwa sesungguhnya meskipun kita semua berada dalam jalur yang berbeda, tetapi sebenarnya tujuan kita adalah sama. Perbedaan jalur terjadi karena kita hanya melakukan sesuatu sesuai yang kita yakini benar, sesuatu yang tidak lebih dari subyektivitas belaka. Tapi justru itu semualah yang kian memberi berbagai macam warna di dunia ini sehingga dunia ini menjadi hidup.                                               

Penjajahan dan Dominasi Kekuasaan       
   Dalam realitasnya, kemerdekaan yang dimaksud bukanlah dalam konteks freedom (kebebasan). Sebab, dominasi atas pihak lain untuk meninggikan martabat pihak yang didominasi, tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah penjajahan. Tetapi, definisi penjajahan yang tepat adalah dominasi dari pihak tertentu hingga mengakibatkan eksploitasi atas pihak lain. Jika penjajahan adalah lawan dari kemerdekaan, maka penjajahan adalah bentuk dominasi satu pihak kepada pihak lain hingga terjadinya eksploitasi atas pihak yang didominasi. Artinya, penjajahan itu bukan soal dominasi. Tetapi soal “dominasi yang mengakibatkan eksploitasi”. Inilah definisi penjajahan (isti’mar) yang sahih dan sesuai realitas.
Oleh karena itulah, dominasi militer, politik, ekonomi, dan budaya terhadap pihak lain untuk dieksploitasi adalah bentuk penjajahan. Tetapi dominasi atas pihak lain (dalam segala bidang), bukan untuk dieksploitasi, namun untuk diangkat martabatnya ke arah yang lebih mulia, tidak bisa disebut dengan penjajahan.
Dominasi Portugis terhadap Maluku pada tahun 1511-1526 (selama 15 tahun), disebut dengan penjajahan. Sebab, dalam kurun waktu itu pribumi kepulauan Nusantara dieksploitasi sumber daya alamnya, dirampas untuk kemudian dijadikan barang dagangan orang-orang Eropa.
Adanya eksploitasi terhadap pribumi Nusantara waktu itu ditunjukkan dengan adanya penolakan yang berujung pada perlawanan rakyat terhadap Portugis, seperti yang dilakukan rakyat Minahasa, rakyat Malaka, rakyat Aceh, dan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Khairun dan putranya Sultan Baabullah. Bahkan, Adipati Yunus (Sultan Demak) pun turut mengirimkan ekspedisi jihad ke Malaka untuk membantu Kesultanan Malaka melepaskan diri dari penjajahan Portugis.
Begitu pula dengan dominasi Spanyol atas Nusantara, juga bisa dikatakan sebagai penjajahan. Sebab, yang terjadi adalah eksploitasi atas sumber daya rakyat di kepulauan Nusantara. Keberadaan mereka pun mendapat perlawanan sengit dari rakyat Minahasa dan Maluku. Sekali lagi, alasannya adalah soal eksploitasi. Lebih buruk lagi, kedua penjajah ini (Portugis dan Spanyol) justru menjadikan Maluku sebagai ajang perebutan daerah koloni (jajahan).
Inggris, negara yang dianggap ‘penjajah yang baik’ oleh sebagian pihak karena dianggap turut membangun wilayah jajahan, sebenarnya juga merupakan penjajah yang busuk. Kenyataan ini bisa dilihat dari kebijakan yang diterapkan Inggris ketika menetapkan sistem sewa tanah (landrent). Jadi, keberadaan Inggris di Nusantara adalah untuk menguasainya, kemudian merampas tanahnya dari rakyat pribumi, lalu menyuruh rakyat pribumi menyewa tanah hasil rampasan Inggris (yang notabene adalah tanah pribumi sendiri). Ini juga merupakan kolonialisasi Inggris atas Indonesia.
Yang paling parah, tentu dominasi Belanda dan Jepang atas Indonesia. Kedua negara ini tidak dipungkiri telah mendominasi dan mengeksploitasi Indonesia sampai pada taraf yang sangat keji. Bukan hanya sumber daya alam yang dieksploitasi, tetapi juga sumber daya manusianya. Siapa yang bisa mengingkari kenyataan ini? Bahkan dunia pun mengakuinya.
Namun, berbeda dengan dominasi kaum muslim atas tanah Syam, sesaat setelah wafatnya Rasulullah saw. Dominasi kaum muslim atas wilayah Syam justru adalah dominasi untuk mengangkat martabat mereka (orang-orang Syam) ke arah yang lebih tinggi, mulia, dan terhormat. Sebab, yang dilakukan kaum muslim terhadap Syam adalah futuhat (pembebasan), bukan isti’mar (penjajahan).
Apa perbedaan antara futuhat dan isti’mar? Futuhat bisa diartikan pembebasan atau pembukaan. Pembukaan, maksudnya adalah membuka akal manusia yang selama ini tertutup oleh kabut kekufuran. Sedangkan pembebasan, maksudnya adalah membebaskan wilayah yang ditaklukkan dari penjajahan pihak lain. Jadi, realitasnya futuhat adalah ajakan untuk memeluk Islam dan menjadi bagian dari perlindungan Islam. Sedangkan isti’mar (penjajahan) tujuannya hanya satu, yaitu eksploitasi atas pihak yang dijajah. Jadi, motif dan tujuannya memang jelas berbeda.
Motif dan tujuan yang berbeda, tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi Kapitalisme, telah membuat ideologi ini menganut prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagi negara penganut ideologi Kapitalisme, penipuan, kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah dianggap sah dalam rangka mencapai tujuannya. Namun semua ini selalu ditutupi dengan dalih penyelamatan umat manusia, penegakan HAM, atau menjaga keamanan dunia. Tidak mengherankan kalau sejarah Kapitalisme dunia selalu diisi dengan dengan darah dan air mata dari rakyat negara yang dijajah. Tidak heran pula, jika isti’mar selalu membuahkan perlawanan rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah swt. Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka terlebih dulu memeluk Islam (dakwah). Kalau rakyat pribumi tidak mau masuk Islam, mereka ditawari masuk dalam kekuasaan khilafah (pemerintahan Islam) seraya membayar jizyah, meski pun mereka tetap pada agama mereka. Jadi, dalam Islam, perang merupakan pilihan terakhir. Lagipula perang dalam rangka futuhat bukanlah untuk memerangi rakyat setempat, tetapi adalah untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik, misalnya penguasa zalim mereka yang menghalangi diterimanya Islam oleh rakyat pribumi. Sebab, seringkali penghalang terbesar datangnya hidayah adalah karena faktor penguasanya.
Sekali lagi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi. Ini tidak terjadi pada masa dominasi Islam atas berbagai wilayah di dunia. Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan turut menjadi pembela negara Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang yang membela agama atau negaranya (ketika masih menjadi bagian dari kekuasaan Khilafah Islam). Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkan eksistensinya?
Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara Barat imperialis. Hampir sebagian besar orang di dunia menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapan pun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan tetap menganggap Inggris sebagai penjajah. Italia pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan sekarang adalah bukti yang nyata. Rakyat Irak, meskipun mereka tidak setuju terhadap rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, bukan berarti mereka menerima Amerika Serikat. Negara super power ini tetap saja dianggap sebagai penjajah. Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan, dan mereka adalah yang diuntungkan dengan hadirnya negara imperialis itu di Irak.
a.         Ironi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945 dianggap sebagai hari dimana rakyat Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Dari sejak tanggal tersebut sampai sekarang, kemerdekaan Indonesia selalu diperingati dengan sangat meriah. Seolah-olah Indonesia benar-benar telah merdeka, lepas dari bentuk dominasi dan eksploitasi dari bangsa lain. Namun realitas sesungguhnya menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Justru saat ini dominasi dan eksploitasi bangsa lain atas Indonesia tetap terjadi, hanya saja dalam bentuk yang lain.
Dominasi dan eksploitasi asing itu terlihat dari diterapkannya ideologi Kapitalisme-Sekular dan eksploitasi sumber daya alam dengan mengatasnamakan kerja sama dan hubungan diplomatik. Ideologi Kapitalisme-Sekular telah mendominasi negeri ini dari sejak negara ini pertama kali dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ideologi ini dijadikan dasar bagi setiap kebijakan penguasa yang berkuasa, baik itu di era Orde Lama, Orde Baru, maupun di era Reformasi saat ini. Ideologi ini dijadikan dasar untuk menghasilkan berbagai keputusan politik (pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, politik dalam negeri, politik luar negeri, sektor pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) yang menyangkut kebijakan strategis negara. Ini terus digunakan sampai sekarang. Kalaupun ada perubahan-perubahan politik, itu hanyalah modifikasi saja. Tetapi hakikatnya tetap sama, yaitu Kapitalis-Sekular.
Dari sisi eksploitasi, sumber daya alam dan sumber daya manusia negeri ini benar-benar telah dirampas oleh pihak asing. Kekayaan alam negara Indonesia lebih banyak mengalir ke luar negeri daripada menghidupi rakyatnya sendiri di dalam negeri. Contohnya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, UU KDRT, dan sebagainya. Ini belum termasuk regulasi lain seperti Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan lain-lain yang turut mengokohkan berbagai regulasi yang bersifat eksploitatif itu. Inilah bentuk eksploitasi bangsa lain terhadap rakyat Indonesia. Dominasi dan eksploitasi, bukan dalam bentuk militeristik, namun lebih bersifat politik. Jadi, sungguh sangat ironis jika Indonesia masih mengaku sebagai negara yang merdeka, sementara Indonesia masih berada dalam cengkeraman pihak asing.
b.        Kemerdekaan Hakiki
Penjajahan adalah dominasi yang mengakibatkan eksploitasi. Karena itu, di dalam penjajahan ada pengekangan alias kontrol. Kontrol dari pihak tertentu kepada pihak lain, dengan tujuan untuk mengkesploitasi segala potensi yang dimiliki. Ini berlawanan dengan kemerdekaan dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari penghambaan kepada selain Allah, menuju kepada penghambaan hanya kepada Allah. Definisi inilah yang menjadi dasar bagi kaum muslimin untuk membebaskan bangsa lain sebagaimana yang dikatakan oleh Saad bin Abu Waqqas ra. saat berhadapan dan menjawab pertanyaan Panglima Perang Persia, Rustum pada Perang Qadisiyah. Waktu itu Saad bin Abu Waqqash ditanya, “Apa alasan kalian memerangi kami?” Saad bin Abu Waqqas menjawab, “Untuk membebaskan kalian dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah SWT.”
Jadi, penjajahan bukanlah soal dominasi. Tetapi penjajahan adalah soal eksploitasi. Dan kemerdekaan bukanlah soal kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi kemerdekaan adalah terbebasnya manusia atau sekelompok manusia (rakyat) dari penghambaan kepada manusia, menuju penghambaan hakiki kepada pencipta manusia, yaitu Allah swt.                       



[1]Ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang harus dimiliki manusia untuk dapat hidup dengan layak dan baik. Ilmu pengetahuan juga banyak dipelajari dengan tujuan manusia-manusia modern dapat memanfaatkannya untuk menemukan hal-hal yang membawa kesejahteraan hidup lebih luas seperti penemuan obat baru, kendaraan baru, dan alat teknologi.
[2]Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna.
[3]Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
[4]Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.
[5]Ilmu adalah suatu bentuk pemikiran manusia yang merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
[6]Ilmu memiliki jangkauan yang lebih luas dari pengetahuan. Ketika seseorang ingin mendapatkan ilmu maka ia harus mempelajari pengetahuan. Artinya setiap ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis membentuk sebuah alur konkret yang bermanfaat.
[7]Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 September 2007, Jakob Sumardjo.
[8]Realitas kita adalah realitas Indonesia, dan kita dilahirkan di sini dan dalam abad ini. Itulah tugas kita untuk membangun bangsa dan negara ini. Bukan ikut membangun bangsa dan negara yang tak jelas karena imajinasi mondialnya. Kita harus berani beda!
[9]Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
[10]Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata “Al-Din” seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3:19 (Zainul Arifin Abbas, 1984:4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
[11]Di dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia(1996: 149), disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup,  way of life, dan kelakuan.
[12]Contoh Hubungan agama dan kebudayaan di dalam kehidupan sehari-hari; (1) ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat. (2) ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius. (3) budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya

0 komentar:

Posting Komentar