LANDASAN PANCASILA



Pendidikan Pancasila[1], mesti meletakkan landasan[2] yang kuat dalam mengikuti perubahan yang sulit ditolak. Sebab sudah menjadi bagian alamiah dari bertambahnya kebutuhan. Perubahan pasti berlangsung, siap atau tidak siap. Bagi Pancasila[3] yang sakti, perubahan bukan merupakan ancaman tapi adalah tantangan, peluang, dan kreatifitas dalam menyambutnya. Namun, sikap dan kekuatan dalam menghadapi perubahan mesti tetap berlandaskan pada ideologi Islam[4], negara, dan prinsip-prinsip kehidupan.

Islam telah menggariskan bahwa agama adalah petunjuk hidup tertinggi, dan tidak ada ideologi lain yang bisa menandinginya, termasuk negara. Negara adalah salah satu bagian dari Al Islam. Sebagai bagian yang melekat dengan Islam, status dan posisinya tidak boleh ditinggikan lebih dari asalnya. Apalagi memperalat agama untuk kepentingan negara. Seharusnya, negara tunduk dengan ketentuan-ketentuan agama dan bukan sebaliknya[5]. Fakta terus menggulirkan bukti atas negara-negara gagal, negara chaos, negara penuh masalah, dan lainnya, sumbernya adalah hilangnya agama dalam negara. Oleh karena itu kedudukan agama harus dihargai lebih mulia, agar cahayanya menerangi semua kegelapan yang diselimuti kepentingan demi kepentingan. Manusia dalam negara merupakan pengelola yang sudah ditetapkan oleh agama untuk bertanggungjawab. Kemudian negara memperkuat peran manusia agar mentaati agama sehingga negara mendapatkan manfaatnya[6]. Negara yang baik tidak memusuhi agama dan justru menjadikan penganut agama sebagai kekuatan pendukung negara. Penganut agama yang taat akan menjadi warganegara yang mematuhi ketentuan negara. Muslim dimanapun adalah teladan yang sangat konsens dengan aturan main negara[7]

Pancasila-pun sebagai landasan bernegara di Indonesia merupakan jelmaan agama (al Islam). Penjaga Pancasila berasal dari orang-orang yang beragama dengan bekal ilmu, seni, dan teknologi. Peradaban Pancasila menjadi bagian dari peradaban agama. Ketika agama tidak dijaga maka secara otomatis Pancasila turut degradatif. Manusia Pancasialis adalah manusia yang spiritualis, agamis, relijius. Lahirnya manusia Pancasilais karena ada Al Islam yang membangun cita-cita agung yaitu memuliakan manusia. Bukti bahwa Pancasila di Indonesia terjaga karena ada umat Islam yang menjaga dan melestarikannya. Negara harus mengapresiasi keberadaan muslim di negeri ini.



Landasan Pendidikan 

1.        Landasan Historis

Prinsip hidup bangsa Indonesia yaitu memandang hidup sebagai kebaikan, berlandasan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawatan, dan keadilan. Prinsip ini terjalin rapi dalam teori dan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian prinsip inilah yang dikukuhkan sebagai nilai fundamental menata pengelolaan kehidupan bersama. Inilah yang disebut dengan Pancasila atau lima dasar peradaban; peradaban hidup dan mati, peradaban maju dan terhormat, peradaban unggul dan diteladani, peradaban aman dan sejahtera, peradaban bahagia dan terlindungi, peradaban tinggi dan disegani, peradaban kebenaran dan keadilan, atau semua peradaban konstruktif lainnya[8].

2.        Landasan Kultural

Manusia pertama yang turun ke bumi adalah manusia beragama. Agama melekat dan tidak bisa dipisahkan dengan manusia. Kemudian agama diterjemahkan dalam nilai-nilai turunannya, yaitu; saling mengenal, kerjasama, dan mengembangkan diri dan masyarakat, khususnya taat dengan agama. Nilai-nilai turunan tersebut menjadi kultur (budaya) dalam memperkuat agama dan ideologi negara, Pancasila. Nilai inilah yang banyak disebut dengan kepribadian (jatidiri) kultural[9].

Kultur adalah anak kandung dari agama, yang bertugas mengimplementasikan semua nilai-nilai agama agar masyarakat hidup berlandaskan agama. Mengapa? Karena manusia berhubungan sesama manusia melalui perantaraan kultur yang hidup di tengah-tengah mereka. Apalagi jika kultur yang dikembangkan bernafaskan agama, maka ia akan berjalan seiring dengan agama tersebut. Kultur dan agama seharusnya menjadi paket yang dibungkus negara sebagai sumber kebaikan dan kebenaran.

3.        Landasan Yuridis

Landasan yuridis utama adalah Alquran (kitab sakral), UUD 1945 (kitab operasional), Undang-undang  RI (kitab manual), Peraturan Pemerintah (kitab faktual), serta norma (kitab mondial). Dalam konteks pendidikan, landasan yuridis relevan adalah Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Nomor  2  Tahun  1989  dan, Nomor 20 Tahun 2003), Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Keputusan Dirjen  Dikti  Nomor  265  Tahun  2000[10], dan tahun 2002[11]  mengatur  tentang  perlunya  mata  kuliah Pendidikan Pancasila.

4.        Landasan Filosofis

Falsafah merupakan pandangan hidup (pedoman, petunjuk, prinsip) warganegara Indonesia, yang bersumber dari Pancasila di atas. Nilai-nilai Pancasila inilah yang secara filsofis adalah landasan dari pendidikan Pancasila[12]. Oleh karena Pancasila adalah falsafah bangsa, maka secara otomatis ia menjadi landasan filosofis dari pendidikan Pancasila.

5.        Tujuan Pendidikan Pancasila

Pancasila menjadi pemersatu semua kepentingan manusia Indonesia dengan beragam latarbelakangnya[13]. Tujuannya hanya satu yaitu menjadikan setiap manusia (peserta didik) beriman-bertakwa, berkemanusian, bersatu, bermusyawarah-mufakat, dan berkeadilan.

Satunya tujuan dalam pendidikan Pancasila ini membuat setiap orang tanpa terkecuali harus menganut satu agama (keyakinan bukan kepercayaan), satu kemuliaan yaitu memuliakan kemuliaan manusia, satu kebersamaan yaitu persatuan Indonesia, satu rakyat yaitu rakyat selalu bersama dalam musyawarah dan mufakat, satu tujuan yaitu keadilan sosial[14], satu mekanisme yaitu saling hormat menghormati, harga menghargai.



Landasan Ilmiah


Pancasila telah disepakati dan dijalankan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (falsafah bangsa/filsafat Pancasila). Ditinjau secara ilmiah[15] persyaratannya terpenuhi dan menarik untuk dikaji secara mendalam. 

1.        Objektif

Objek ilmu pengetahuan dalam filsafat dibedakan menjadi dua; (1) obyek forma[16], dan (2) obyek materia[17]. Objek forma atau formal merupakan perspektif (sudut pandang) yang bersifat abstrak (tidak tampak) tentang Pancasila secara luas atau sempit. Sedangkan objek materia atau material merupakan penglihatan atas sesuatu yang empirik (tampak).

2.        Metode

Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang logis dimana metode itu sendiri merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Metode dalam pembahasan Pancasila sangat tergantung pada karakteristik obyek formal dan material Pancasila[18].

3.        Bersistem

Suatu pengetahuan ilmiah harus merupakan sesuatu yang bulat dan utuh. Bagian-bagian dari pengetahuan ilmiah harus merupakan suatu kesatuan antara bagian-bagian saling berhubungan baik hubungan interelasi (saling hubungan maupun interdependensi (saling ketergantungan). Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan (majemuk tunggal) yaitu ke lima sila baik rumusan, inti dan isi dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan dan kebulatan.

4.        Universal

Kebenaran suatu pengetahuan ilmiah harus bersifat universal artinya kebenarannya tidak terbatas oleh waktu, keadaan, situasi, kondisi maupun jumlah. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal atau dengan kata lain intisari, esensi atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila pada hakekatnya bersifat universal.

Tingkat pengetahuan ilmiah dalam masalah ini bukan berarti tingkatan dalam hal kebenarannya namun lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan masing-masing. Tingkatan pengetahuan ilmiah sangat ditentukan oleh macam pertanyaan ilmiah sebagai berikut:

a.       Deskriptif    : suatu pertanyaan “bagaimana”

b.      Kausal          : suatu pertanyaan “mengapa”

c.       Normatif      : suatu pertanyaan “kemana”

d.      Essensial      : suatu pertanyaan “apa”


1.    Pengetahuan Deskriptif

Pengetahuan deskriptif yaitu suatu jenis pengetahuan yang memberikan suatu keterangan, penjelasan obyektif. Kajian Pancasila secara deskriptif berkaitan dengan kajian sejarah perumusan Pancasila, nilai-nilai Pancasila serta kajian tentang kedudukan dan fungsinya.

2.    Pengetahuan Kausal

Pengetahuan kausal adalah suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab akibat. Kajian Pancasila secara kausal berkaitan dengan kajian proses kausalitas terjadinya Pancasila yang meliputi 4 kausa yaitu kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien dan kausa finalis. Selain itu juga berkaitan dengan Pancasila sebagai sumber nilai, yaitu Pancasila sebagai sumber segala norma.

3.    Pengetahuan Normatif

Pengetahuan normatif adalah pengetahuan yang berkaitan dengan suatu ukuran, parameter serta norma-norma. Dengan kajian normatif dapat dibedakan secara normatif pengamalan Pancasila yang seharusnya dilakukan (das sollen) dan kenyataan faktual (das sein) dari Pancasila yang bersifat dinamis.

4.    Pengetahuan Esensial

Pengetahuan esensial adalah tingkatan pengetahuan untuk menjawab suatu pertanyaan yang terdalam yaitu pertanyaan tentang hakekat sesuatu. Kajian Pancasila secara esensial pada hakekatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang intisari/makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila (hakekat Pancasila).

Pancasila secara yuridis kenegaraan meliputi pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia, sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan. Realisasi Pancasila dalam aspek penyelenggaraan negara secara resmi menyangkut norma hukum maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara.

Tingkatan pengetahuan ilmiah dalam pembahasan Pancasila yuridis kenegaraan adalah meliputi tingkatan pengetahuan deskriptif, kausal dan normatif. Sedangkan tingkat pengetahuan essensial dibahas dalam bidang filsafat Pancasila, yaitu membahas sila-sila Pancasila sampai inti sarinya, makna yang terdalam atau membahas sila-sila Pancasila sampai tingkat hakikatnya.




[1]Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta.

[2]Secara leksikal, landasan berarti tumpuan, dasar  atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak  atau dasar pijakan ini dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual (contoh: landasan pendidikan). Landasan yang bersifat koseptual identik dengan asumsi,  adapun asumsi dapat dibedakan menjadi tiga macam asumsi, yaitu aksioma, postulat dan premis tersembunyi.

[3]Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu: “panca” artinya “lima”, “syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”. “syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”. Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.

[4]Adalah ideologi yang menjadikan Islam sebagai pedoman di seluruh lapangan kehidupan, material dan spiritual. Akidah Masyarakat dalam Ideologi Islam harus Islami.

[5]Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia.

[6]Islam hanya meletakkan kaidah-kaidah umum dan tidak menetapkan bentuk ataupun aturan terperinci yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pengelolaan negara.

[7]Alqur’an meletakkan kaidah dan prinsip-prinsip umum yang berkaitan dengan negara dan pemerintahan seperti penegakkan keadilan, penerapan musyawarah, memperhatikan kesamaan, jaminan hak dan kebebasan berpendapat, dan penetapan solidaritas sosial secara komprehensif serta hubungan pemimpin dan rakyatnya seperti hak dan kewajiban timbal balik antara pemimpin dengan rakyatnya.

[8]Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah bagian dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.

[9]Bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri.

[10]SK Mendiknas RI, No.232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pasal 10 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi, yang terdiri atas Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

[11]Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan Surat Keputusan No.38/DIKTI/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa kompetensi kelompok mata kuliah MPK bertujuan menguasai kemampuan berfikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual.

[12]Secara filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan obyektif bahwa manusia adalah mahluk Tuhan YME.

[13]Dengan mempelajari pendidikan Pancasila diharapkan untuk menghasilkan peserta didik dengan sikap dan perilaku: (1) Beriman dan takwa kepada Tuhan YME, (2) Berkemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Mendukung persatuan bangsa, (4) Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan individu/golongan, dan (5) Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan social dalam masyarakat.

[14]Melalui Pendidikan Pancasila warga negara Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945.

[15]Menurut Ir. Poedjowijatno dalam bukunya “Tahu dan Pengetahuan” mencatumkan syarat-syarat ilmiah sebagai berikut: (1) berobyek, (2) bermetode, (3) bersistem, dan (4) bersifat universal.

[16]Obyek formal  Pancasila adalah suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila. Pancasila dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya: Moral (moral Pancasila), Ekonomi (ekonomi Pancasila), Pers(Pers Pancasila), Filsafat (filsafat Pancasila), dsb.

[17]Obyek material Pancasila adalah suatu obyek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila baik yang bersifat empiris maupun non empiris. Bangsa Indonesia sebagai kausa material (asal mula nilai-nilai Pancasila), maka obyek material pembahasan Pancasila adalah bangsa Indonesia dengan segala aspek budaya dalam bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Obyek material empiris berupa lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda sejarah dan budaya, Lembaran Negara, naskah-naskah kenegaraan, dsb. Obyek material non empiris meliputi nilai-nilai budaya, nilai-nilai moral, nilai-nilai religius yang tercermin dalam kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya.


[18]Salah satu metode adalah “analitico syntetic” yaitu suatu perpaduan metode analisis dan sintesa. Oleh karena obyek Pancasila banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah maka sering digunakan metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik obyek, demikian juga metode “koherensi historis”   serta metode “pemahaman penafsiran” dan interpretasi. Metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan.

0 komentar:

Posting Komentar