Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau
pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di
dunia. Namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai
kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia. Unsur-unsur dalam Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup
masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan sumber utama
Pancasila. Sebagai ideologi, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila selalu
tercermin dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Karena ideologi
tersebut terlahir dari bangsa kita sendiri. Pertanyaan yang muncul selanjutnya,
sudahkah nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi landasan sikap dan prilaku yang
utuh dalam masyarakat kita ?. Tentu masing-masing individu kita yang merupakan
bagian dari masyarakat mampu menjawab pertanyaan ini.
Pemikiran Pendidikan
Banyak
pristiwa di negeri ini yang sangat miris dipandangan mata. Begitu gencarnya media
massa memberitakan tindakan kriminal. Tidak hanya orang dewasa sebagai pelaku,
bahkan anak di bawah umurpun bisa menjadi aktornya. Tawuran antar pelajar tidak
terbendung lagi terjadi dimana-mana. Tindakan asusila menjadi info hangat
dikalangan masyarakat kita. Berbagai kasus hukum seperti korupsi selalu
menghias di layar kaca, telah menghinggapi kaum elit bangsa kita. Masih banyak
lagi gambaran negatif yang terjadi, termasuk adanya pergolakan disintegrasi
bangsa di beberapa daerah. Jika direnungkan lebih jauh semua yang terjadi
tersebut mengambarkan bahwa bangsa ini semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila
yang merupakan ideologi bangsa.
Pendidikan diharapkan sebagai wadah yang pas untuk
penanaman ideologi Pancasila ternyata belum signifikan memberikan pengaruh.
Saat ini sepertinya Pancasila tidak lagi menjadi bagian penting dalam proses
pendidikan. Bisa dilihat dari kurikulum yang ada, Pancasila hanya menjadi
bagian kecil dari kurikulum yang telah disusun. Kurikulum 2004 yang disebut
sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK telah menghilangkan kata
”Pancasila” dari PPKn, tinggal menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan,
tanpa menyebut Pancasila lagi. Begitu pula dengan kurikulum KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006, yang dalam struktur programnya, tidak
ada lagi kata Pancasila,
Lemahnya sistem pendidikan nasional dalam mengakomodir
pendidikan Pancasila lewat kebijakan kurikulum berdampak pada lemahnya sistem
pendidikan Pancasila. Pendidikan Pancasila selama ini hanya bersifat teori,
sehingga berupa paket pengetahuan. Paket pengetahuan tersebut diajarkan kepada
peserta didik dengan bahan ajar dilengkapi perangkat evaluasinya. Ironisnya
pendidikan Pancasila tersebut sebatas teori padahal nilai-nilai yang terkandung
semestinya menjadi perilaku keseharian. Lingkunganpun tidak mendukung penerapan
ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari, permasalahnnya adalah lemahnya
suritauladan.
Pancasila sebagai Landasan Pendidikan
Atas
dasar filsafat atau pandangan hidupnya yaitu Pancasila, bangsa Indonesia
memiliki filsafat pendidikan tersendiri. Pancasila merupakan landasan filosofis
pendidikan nasional, sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam UUD 1945.
Filsafat Pancasila merupakan
asumsi-asumsi pendidikan nasional yang dideduksi dari filsafat
Pancasila, (Wahyudin, D, 2009). Selanjutnya dipertegas dengan pernyataan,
asumsi-asumsi yang dimaksud adalah metafisika, epistemologi dan aksiologi
Pancasila serta implikasinya terhadap pendidikan.
1.
Hakekat Realitas
Realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan
sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (mahluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan
adalah sumber pertama dari segala yang ada, Ia adalah sebab pertama dari segala
yang ada, tetapi Ia tidak disebabkan oleh sebab, tetapi Ia tidak disebabkan
oleh sebab-sebab lainnya dan Ia juga adalah tujuan akhir segal yang ada.
Manusia hakekatnya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang berinterkasi dengan
lingkungan. Manusia diciptakan di dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin
dengan segala esensinya.
Berkaitan dengan asumsi ini, maka Pancasila menganut
beberapa asas menurut BP-7 Pusat, 1995, sebagai berikut;
a.
Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa (aspek religius).
b.
Asas
mono dualisme (kesatuan badan-rohani).
c.
Asas
mono pluralisme (keragaman manusia)
d.
Asas
nasionalisme (rasa cinta terhadap tanah air)
e.
Asas
internasionalisme (manusia Indonesia mengakui bangsa lain)
f.
Asas
demokrasi (kesamaan hak dan kewajiban)
g.
Asas
keadilan sosial (menjunjung tinggi kepentingan bersama)
2.
Hakikat Pengetahuan
Asumsi ini menggambarkan segala pengetahuan bersumber
dari Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak yaitu
ajaran agama yang diturunkan lewat
wahyu. Pengetahuan yang bersifat relatif
(filsafat, sains) diuji kebenarannya atas dasar kontradiksi tidaknya
dengan kebenaran mutlak, konsisten logis idenya, kesesuaian dengan data atau
fakta empiris dan nilai kegunaannya baik kesejahteraan hidup dan kehidupan.
3.
Hakikat Nilai
Sumber segala nilai hakikatnya adalah Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh karena manusia adalah mahluk Tuhan, insan pribadi/individu sekaligus
insan sosial maka hakikat nilai diturunkan dari Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat
dan individu. Nilai-nilai individual dan nilai-nilai sosial tidak satu sama
lain dan juga kedua-duanya tidak boleh bertentangan dari Tuhan (nilai-nilai
agama) sesuai keyakinan agama
masing-masing.
Ketiga asumsi di atas yaitu metafisika, epistemologi dan
aksiologi Pancasila menjadi landasan filosofis pendidikan nasional. Landasan
pendidikan dapat bermakna titik tolak, pijakan atau dasar dalam pelaksanaan
pendidikan. Pancasila sebagai landasan filosofis pendidikan nasional menjadi dasar dalam pelaksanaan pendidikan
nasional.
Menurut Wahyudin,
(2009), asumsi-asumsi filosofi Pancasila mengimplikasi terhadap pendidikan
nasional yang meliputi tujuan pendidikan, isi atau kurikulum pendidikan, metode
pendidikan dan peran pendidik serta peserta didik, adalah;
a.
Tujuan
pendidikan, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, (UU Sisdiknas
tahun 2003).
b.
Kurikulum
pendidikan, disusun sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan peningkatan iman dan taqwa,
peningkatan ahklak mulia, potensi, kecerdasan, dan minat pembangunan daerah dan
nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, agama, dinamika perkembangan global serta persatuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan.
c.
Metode
pendidikan, berbagai metode pendidikan yang ada merupakan alternatif untuk
diaflikasikan.
d.
Peranan
pendidik dan peserta didik, hal ini tersurat dan tersirat dalam semboyan ing ngarso sung tu lodo, ing madyo mangun
karso dan tut wuri handayani.
4.
Pancasila dan Fakta
Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar negara dan
ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat
istiadat, budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat
Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu
kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup
Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat.
Ideologi menurut ahli merupakan kumpulan ide atau gagasan
atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang
melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila yang merupakan hasil dari
kristalisasi dari nilai-nilai yang kehidupan masyarakat. Namun kenyataan
ideologi Pancasila yang dimiliki sejak lama belum menjadi sebuah karakter.
Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku anak itulah yang disebut karakter. Jadi suatu karakter melekat
dengan nilai dari perilaku tersebut, (Kesuma. D dkk, 2011).
Ary Ginanjar Agustin berpendapat dalam Kesuma. D dkk,
(2011) secara umum kondisi bangsa yang dirasakan saat ini berbeda dengan apa
yang menjadi karakteristik bangsa. Selanjutnya dikatakan, kini yang utama
bukanlah budi. Karena itu bangsa Indonesia mengalami krisis yang luar biasa karena
yang utama pada bangsa ini adalah kekuasaan, harta dan jabatan. Sementara itu budi, moral, etika, akhlak
tidak lagi dinomorsatukan. Pernyatan ini berkorelasi positif dengan kondisi
bangsa Indonesia saat ini. Kondisi moral bangsa ini sangat memprihatinkan. Hal
ini ditandai dengan seks bebas, narkoba, minuman keras, korupsi, rekayasa
kriminal dan masih banyak perilaku negatif yang mengindikasikan penyimpangan
atas ideologi Pancasila. Ada apa dengan bangsa ini? adakah yang salah?. Jika
demikian faktanya, ideologi Pancasila yang seharusnya menjadi karakter bangsa
malah bertentangan dengan prilaku yang ditujukan masyarakat dalam keseharian.
Maka upaya pengkarakteran ideologi Pancasila patut menjadi pehatian serius
ditengah hilangnya jati diri bangsa saat ini.
Pengkarakteran Pancasila lewat pendidikan merupakan upaya
untuk menjadikan Pancasila sebagai karakter bangsa. Kenyataannya upaya ini
tidak semudah apa yang dibayangkan. Boleh dikatakan upaya pendidikan dalam pengkarakteran
Pancasila sejak dini belum membekas pada peserta didik. Upaya pengkarakteran
Pancasila dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan pendidikan Pancasila.
Pendidikan Pancasila sebenarnya telah lama berjalan semenjak lahirnya
Pancasila. Pendidikan Pancasila mengalami pasang surut mengkuti kebijakan
pemerintah saat itu.
Konsep Pendidikan Pancasila
1.
Kurikulum
Pada
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973, memang telah dicanangkan
agar pembentukan mental dan moral Pancasila dimasukkan kedalam kurikulum dan
menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Dengan amanat konstitusi ini,
karena GBHN adalah produk legislatif oleh MPR, maka dengan serta-merta
dimulailah masa kejayaan Pendidikan Pancasila dalam sistem kurikulum kita.
Apalagi dengan datangnya era Ekaprasetya Pancakarsa pada
tahun 1978 atau yang terkenal dengan P-4, yakni Pedoman Penghayatan dan
Pengmalan Pancasila, dan dibentuknya BP-7, sebuah lembaga negara yang mengelola
penataran P-4 tadi. Kurikulum 1975, yang telah mencantumkan Pancasila seperti
telah diawali pada kurikulum 1968, segera disesuaikan dengan konsep Ekaprasetya
Pancakarsa yang dicanangkan dalam tahun 1978 tersebut. Perombakan penting
segera terjadi terhadap Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran itu menjadi
lebih kokoh berdiri sendiri dalam struktur program kurikulum dalam semua
jenjang sekolah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu telah
luar biasa disibukkannya dalam manajemen PMP ini. Mulai dari seleksi buku
pelajaran yang berduyun-duyun mendatanginya serta para pengarang dan penerbit,
penataran guru PMP di seluruh pelosok tanah air serta mencetak bahan-bahannya,
simulasi untuk menemukan metodologi yang pas, teknik evaluasi dan lain-lain
lagi. Entah berapa banyak uang yang terpakai untuk ini. disamping penataran P-4
sendiri oleh BP-7 yang diberlakukan untuk seluruh birokrasi, aparatur negara,
politisi dan lapisan masyarakat tertentu seperti perkumpulan-perkumpulan
profesi dan sebagainya.
Dalam kurikulum 1994, Pendidikan Pancasila
mengalami perubahan. Karena terlalu ”dipaksakan” untuk berdiri sendiri dalam
kurikulum 1975 maka Pendidikan Moral Pancasila tadi direduksi posisinya. Dari
mata pelajaran yang berdiri sendiri, Pendidikan Pancasila lalu digabung dalam
mata pelajaran PPKn, singkatan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pendidikan Pancasila diintegrasikan sebagai pengetahuan untuk mempertebal
semangat dan jiwa kebangsaan melalui ilmu kewarganegaraan. Datangnya era
reformasi pada tahun 1998 disusul dengan dibubarkannya BP-7 dan P-4,
mempercepat hilangnya Pendidikan Pancasila dari struktur kurikulum.
Kurikulum 2004 yang disebut sebagai Kurikulum Berbasis
Kompetensi atau KBK telah menghilangkan kata ”Pancasila” dari PPKn, tinggal
menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa menyebut Pancasila lagi.
Begitu pula dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun
2006, yang dalam struktur porgramnya, tidak ada lagi kata Pancasila.
Kalau dalam kurikulum 1994 dahulu Pancasila masih dapat
”kapling” dalam mata pelajaran PPKn, maka dalam kurikulum KBK tahun 2004 yang
kemudian disusul dengan KTSP yang baru dilansir tahun 2006 yang lalu,
Pendidikan Pancasila tidak lagi disebut Alasan modifikasi ini, barangkali,
untuk menjadi warganegara yang baik cukup dengan mengajarkan PKn, dimana
Pancasila sudah implisit ada disitu.
Menurut Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara akatif
mengembangkan potensi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Seiring dengan
itu, Syah M (2010) menyatakan bahwa pendidikan menurut kamus besar bahasa
Indonesia ialah pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendidikan Pancasila dapat dimaknai
sebagai upaya secara sadar dan terencana dalam mendewasakan atau mengubah
perilaku peserta didik untuk memahami serta mewujudkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehiduan sehari-hari.
Pendidikan Pancasila yang telah diterapkan selama ini
tidak berdampak pada pembentukan karakter bangsa. Letak kelemahannya adalah
pada komitmen yang tidak berpijak pada ideologi Pancasila itu sendiri. Manusia menurut
pandangan Pancasila adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, makhluk
individual dan sekaligus sosial, dan dari ketiga potensi tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusia Indonesia dari wujud jasmani
dan rohaninya.
Pancasila menghargai terhadap nilai-nilai dan hak-hak
pribadi (individual), selama nilai-nilai tadi tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat atau negara. Pancasila juga tidak mengutamakan
nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila nilai-nilai itu bertentangan
dengan nilai-nilai martabat kemanusiaan secara hakiki maupun secara yuridis.
Pancasila lebih mendukung terhadap nilai-nilai individual yang memberikan
kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang
mendukung terhadap perbaikan nilai/mutu kehidupan para anggotanya dan
masyarakat sebagai kesatuan.
Pancasila mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi dan keadilan. Nilai-nilai ini sangat kontras dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat. Begitu banyak perilaku maupun sikap yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Hal ini menunjukan suatu kegagalan dalam menanamkan
nilai-nilai Pancasila (pengkarakteran ideologi Pancasiala dalam kehidupan
sehari-hari) yang sebenarnya ideologi murni bangsa Indonesia. Kelemahan dalam
pengkarakteran ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari terletak pada
lemahnya jalur pendidikan dan tidak ada ketauladanan.
2.
Penanaman Ideologi Pancasila
Pancasila diajarkan sebagai ”pengetahuan”, yang
seharusnya dicontohkan sebagai ”keteladanan” tentang perilaku, sikap dan
nilai-nila kehidupan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi siapa yang akan
menjadi teladan, kalau perilaku tokoh elite yang harus di teladani hanya
seperti sekarang ini? Apakah Pancasila hanya akan menjadi retorika belaka,
karena sulitnya dijumpai keteladanan dalam perilaku kita? Kemana akan mencari
tokoh panutan bahkan setelah melewati era P-4 dan PMP.
Pendidikan merupakan wadah yang ideal dalam menanamkan
ideologi Pancasila. Melalui pendidikan,
manusia “peserta didik” dikondisikan untuk bisa menerima pelajaran
tentang Pancasila. Pendidikan mampu membentuk kepribadian seseorang sesuai
dengan apa yang diharapkan dalam hal ini adalah penaman nilai-nilai Pancasia.
Tirtaraharja U dan La Sulo. S, (2005), berpendapat pendidikan sebagai suatu
kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian
peserta didik. Sehingga pendidikan diharapkan dapat membentuk kepribadian
peserta didik yang menjadikan ideologi Pancasila sebagai pribadi atau karakter
mereka.
Atas dasar pentingnya jalur pendidikan dalam proses
pengkarakteran ideologi Pancasila terhadap peserta didik, maka dimasukkanlah
pendidikan Pancasila dalam proses pendidikan di sekolah. Awal masuk sekolah menengah
baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) peserta
didik dikenalkan Pancasila lewat penataran P4. Tidak hanya itu, setelah peserta
didik mulai masuk masa aktif sekolah Panscasila diajarkan dalam bentuk mata
pelajaran. Saat trend pendidikan berbasis KBK pelajaran PMP menjadi PPKn.
Ketika trend KTSP, maka PPKn menjadi mata pelajaran PKn. Hakekatnya perubahan trend kurikulum tersebut yang berdampak
pada trend pengajaran Pancasila pada proses pendidikan. Lambat laun perubahan trend kurikulum tersebut semakin
menggeser kapasitas pengajaran Pancasila yang semakin lama semakin mendapat
porsi yang sedikit.
Upaya pengkarakteran ideologi Pancasila sejak dini lewat
pendidikan pada kenyataannya bisa dikatakan setengah-setengah. Kurikulum yang
dikembangkan pada dunia pendidikan di Indonesia terus memarjinalkan Pancasila.
Selain itu, jika dihubungkan dengan tujuan pembelajaaran yang dijelaskan Bloom
dalam taksonominya, ternyata Pancasila hanya menyentuh ranah kognitif. Menurut
Bloom ranah kognitif, berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
Mudahnya, bahwa pengajaran Pancasila pada dunia pendidikan selama ini hanya
bersifat teori. Padahal pengkarakteran ideologi Pancasila tidak cukup hanya
teori, tapi yang terpenting adalah bagaimana mempraktekannya dalam kegidupan
sehari-hari. Jadi selain ranah kognitif, Pancasila akan menjadi karakter bangsa
jika pendidikan Pancasila menyentuh ranah avektif maupun psikomotorik.
3.
Minimnya Keteladanan
Menanamkan nilai-nilai positif seperti ideologi pancasila
dalam kehidupan sehari-hari perlu sebuah keteladanan. Tanpa keteladanan,
mustahil sebuah gagasan positif berupa pengetahuan tentang budi pekerti dapat
diwujudkan dalam praktek nyata.
Demikian halnya ideologi Pancasila yang
merupakan kepribadi bangsa Indonesia ternyata tidak berimplikasi dalam
kehidupan sehari-hari dalam wujud karakter. Meskipun hal ini tidak bisa
digeneralkan, bahwa secara umum nilai-nilai Pancasila belum tercermin dalam
kehidupan rakyat indonesia.
Secara objektif
kita tetap bisa melihat beberapa contoh tentang penerapan nilai Pancasila.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadinya berbagai tindakan kriminal
seperti perampokan, pencurian, tawuran, pergaulan bebas, pelanggaran aturan
sekolah dan sebagainya merupakan gejala penyimpangan dari nilai-nilai
Pancasila. Aliran empiris mengatakan, faktor bawaan dari orang tua tidak
terlalu penting, pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan
sosial, alam dan budaya (Syah, M, 2010).
Artinya lingkungan berperan besar dalam membentuk karakter seseorang. Secara
tidak sadar ataupun sadar berbagai perilaku negatif di sekeliling kita akan
menghipnotis dan menggiring dalam membentuk karakter seseorang. Bangsa ini
perlu tauladan sebagai panutan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila.
4.
Butir-butir Pancasila
Seiring dengan tujuan pendidikan nasional, dinyatakan
bahwa pembanguan nasional termasuk pendidikan adalah pengamalan Pancasila dan
untuk itu pendidikan nasional mengusahakan pembentukan manusia Pancasila.
Tujuan pendidikan yang telah dirumuskan terkait menjadikan manusia Pancasila
berpedoman pada lima sila yang kemudian dijabarkan menjadi 36 butir-butir
nilai.
1)
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pendidikan
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai
religi terkait keimanan seseorang dan adanya nilai-nilai toleransi. Nilai
religi merupakan nilai hakiki yang dimiliki manusia sehubungan dengan potensi
individu masing-masing. Semenjak belum mengenal agama, manusia sebenarnya
percaya ada kekuatan lain diluar mereka yang mengendalikan kehidupan di alam
ini. Setelah mengenal agama maka manusia menjadikan agama sebagai kebutuhan.
Oleh karena itu dimensi agama merupakan
unsur utama yang mendasari seluruh aspek kehidupan. Sehingga dengan dasar agama
yang baik maka akan mempengaruhi nilai-nilai yang lain terkait dengan pengamalan
Pancasila.
Jelas bahwa manusia diciptakan Allah, SWT sebagai mahluk
yang secara fitrah beriman kepada-Nya. Dijelaskan didalam kitab Alquran dalam
surat Al-Ikhlas, bahwa “Katakanlah Allah Itu Esa”. Esensinya adalah agama
mengajarkan adanya kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
syariat yang harus dilaksanakan manusia. Pendidikan agama seyogyanya adalah
tanggungjawab keluarga sebagai lembaga
informal peletak batu pertma pendidikan. Namun pendidikan agama pada pada
perkembangannya tidak hanya ditentukan oleh keluarga. Disini pengaruh
lingkungan masyarakat juga sangat menentukan. Praktek ditengah masyarakat
melalui syiar-syiar agama merupakan wujud nyata peran masyakat sebagai lembaga
pendidikan agama setelah keluarga. Pendidikan agama juga menjadi perhatian
pemerintah lewat Kementerian terkait. Pemerintah berlandaskan GBHN memasukkan
pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai SD sampai dengan perguruan
tinggi, (Tirtaraharja. U dan La Sulo. S, 2005). Bahkan banyak lembaga pendidikan
yang secara khusus dalam kurikulumnya memuat pendidikan agama secara khusu,
contohnya pondok pesantren.
Selain nilai keimanan yang merupakan syarat manusia yang
dikatakan sebagai manusia beragama, sila satu Pancasila juga mengajarkan adanya
sikap toleransi dan menghargai antara umat beragama. Melalui pendidikan juga
sangat perlu ditekankan adanya rasa saling menghormati dan toleransi antar
sesama umat beragama. Nilai ini menjadi landasan kedua setelah pentingnya
memupuk keimanan sesuia agama masing-masing. Muhammad Athiyah Al-Abrasy
memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap
dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya”.
2)
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan
Pendidikan
Sila ini mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang begitu
kompleks. Adanya persaamaan derajat, saling mencintai, serta menjunjung tinggi
nilai kemanusiaan adalah intisari dari penjelasan butir-butir pada sila ini.
Pendidikan tidak sekedar menghasilkan peserta didik yang memiliki wawasan
keilmuan yang luas, namun pendidikan juga diharapkan mampu menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan. Jika kurang perhatian, maka tidak heran kalau
pendidikan banyak melahirkan orang pintar namun tidak memiliki rasa kemanusian.
Ia hanya sibuk dengan bagaimana mencapai kebahagiaan individu dan lupa bahwa
disekelilingnya banyak individu lain yang perlu mendapat perhatian.
Jelas bahwa kejadian disekeliling kita menunjukan betapa
rendahnya rasa kemanusiaan. Contoh gampang misalnya terjadinya pembunuhan yang
dilakukan anak terhadap orang tua atau sebaliknya. Pendidikan disekolah adalah
lembaga formal yang berperan dalam penanaman nilai kemanusian terkait sila
kedua. Minimal pada praktek pendidikan tidak ada diskriminantif antara sikaya
dan simiskin, atau adanya kesenjangan antara akibat suku, agama dan lain-lain.
Hadirnya sekolah dengan kualitas tinggi yang hanya bisa diikuti siswa yang
mampu sebenarnya salah satu andil pendidikan menciptakan lenturnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam pendidikan.
Profesionalisme pendidik juga sangat dibutuhkan disini,
tidak hanya sekedar kemampuan kognitif saja. Sebagai pendidik harus mampu
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila dua. Pendidik disetiap
kesempatan wajib menanamkan rasa kemanusiaan kepada peserta didiknya. Perlu
dihindari adaanya anak emas ketika mengajar, karena hal ini akan mendorong
ketidak nyamanan pada peserta didik yang lain.
3)
Sila Persatuan Indonesia dan Pendidikan
Sila ketiga dari Pancasila terkandung semangat
patriotisme yang sudah ditunjukan oleh para pahlawan dalam heroiknya perjuangan
kemerdekaan. Tanpa semangat patriotisme para pahlawan mustahil bangsa ini bisa
menikmati kemerdekaan seperti saat ini. Semangat patrotisme tersebut
terinspirasai dari rasa persatuan, rela berkorban, cinta tanah air dan bangga
terhadap bangsa.
Satu steatmen yang sering kita dengar bahwa bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Pendidikan merupakan wadah yang
sangat tepat memberikan pemahaman kepada peserta didik akan pentingnta
nilai-nilai terkandung pada sila ke tiga ini. Lewat kurikulum yang memuat
pendidikan sejarah sebenarnya implikasi nyata upaya pemerintah untuk
mengenalkan sejarah perjuangan para pahlawan yang diilhami sila ketiga.
Sejarah
perjuangan bangsa perlu diketahui untuk dasar menumbuhkan rasa cinta, rela
berkorban, rasa persatuan dan kebanggan terhadap tanah air. Pendidikan formal
menjadi ring pertama yang bisa memberikan wawasan kebangsaan kepada peserta
didik. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa semangat yang terkandung dalam sila ke
tiga ini begitu rendah. Rasa cinta tanah air terganti dengan rasa cinta
terhadap produk luar negeri. Bahkan nama-nama pejuang saja tidak banyak yang
diketahui masyarakat apalagi memahami perjuangan sampai meneruskan amanat
perjuangannya.
4)
Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat
permusyawaratan dan Perwakilan dan
Pendidikan
Sila ke empat mengajarkan kepada kita pentingnya praktek
demokrasi dalam kehidupan. Setiap keputusan yang diambil harus bisa
mengakomodir kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Musyawarah menjadi cara penting dalam pengambilan kebijakan yang diperuntukan
pada kepentingan orang banyak. Setelah mengutamakan musyawarah maka keputusan
tersebut menjadi keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia.
Terkait dengan sila ini pendidikan pada pelaksanaanya
telah banyak berkontribusi terhadap pentingnya semangat musyawarah yang
dilandasi saling menghargai pendapat. Hadirnya berbagai organisasi siswa
seperti OSIS, PMR dan lain-lain pada llingkup sekolah, secara nyata
memperaktekan semangat sila ke empat ini. Praktek pengajaran disekolah juga
sering menggunakan prinsip sila keempat seperti diskusi, pembelajaran
kooperatif dan lain-lain.
5)
Sila
Kedailan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Pendidikan
Sila kelima Pancasila merupakan landasan dalam keadilan
sosial yang sejajarnya menjadi hak bagi setiap warga negara. Dapat dipahami
bahwa manusia adalah mahluk soial, yang tidak bisa lepas dari berbagai
interkasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Butir-butir dalam sila kelima
diantaranya menjelaskan perlunya pengembangan sikap-sikap luhur cerminan rasa
kekluargaan dan kegotong royongan. Terkait dengan kepribadian sangat penting
mengembangkan sikap nyata dalam menghargai hak dan kewajiban orang lain, suka
memberi petrtolongan, menghindari sikap boros dan mewah. Akhir dari sila ke
lima adalah terciptanya stabilitas sosial yang merupakan komitmen bersama dari
masing-masing individu.
Pendidikan
dilihat dari tujuannya terkait sila kelima adalah menciptakan rasa kesetiakawanan nasional.
Kesetiakawanan nasional akan tercipta jika adanya rasa kekeluargaan, tolong
menolong, saling menghargai, dll seperti termuat dalam sila ke lima.
0 komentar:
Posting Komentar