PEMERINTAHAN DAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER



Pengantar
Mata kuliah ini akan membahas ruang lingkup tentang Pemerintahan secara umum dan pola Hubungan Sipil-Militer dalam pemerintahan atau negara.
Diakhir perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tugas dan fungsi pemerintahan, karakteristik dan bentuk-bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer.
Sedangkan dalam konteks pemerintahan negara Republik Indonesia, diharapkan mahasiswa dapat mengkritisi dan menganalisis hubungan antara sipil dan militer. Dari sikap kritis ini diarahkan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan konstruktif atas persoalan-persoalan hubungan sipil-militer di Indonesia.

Proses Keberadaaan Pemerintahan
Di dalam kehidupannya manusia tidak lepas dari peraturan dan norma yang dibuatnya sendiri maupun yang dipaksakan oleh lingkungannya. Hal tersebut karena keterbatasan kemampuan dalam diri manusia. Dengan demikian kebebasan mutlak yang abadi tidak ada, karena kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Keterbatasan inilah kemudian disimpulkan oleh Ibnu Khaldun bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Berdasarkan kesepakatan tersebut dibuatlah prinsip-prisip nilai yang dianggap sebagai aturan hukum dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya yang disepakati bersama oleh semua anggota masyarakat. Pada fase awal pemberian sanksi hukuman dilakukan melalui tindakan penyiksaan fisik seperti potong tangan, cambuk dan penyaliban. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan pesatnya peradaban manusia yang semakin menyadari makna harga dari keberadaan sebuah pribadi yang tidak layak ditukar mutlak dengan kesalahan dan atau kejahatan yang dilakukannya, maka diciptakanlah institusi yang lebih berfungsi sebagai usaha perbaikan atau rehabilitasi yaitu penjara.
Dari persepektif di atas dapat disimpulkan bahwa munculnya suatu negara atau pemerintahan adalah kuatnya kebutuhan bersama manusia akan ketertiban hidup dan aturan-aturan hukum yang berlaku secara sah. Jika demikian adanya, maka antara keberadaan suatu negara atau pemerintahan tergantung kepada ada atau tidaknya hukum yang menjadi aturan masyarakat di dalamnya. Artinya, tidak ada pemerintahan tanpa hukum, dan tidak ada hukum tanpa pemerintahan. Hukum adalah jiwa dari setiap kekuasaan negara.

Tujuan Utama Pembentukan Pemerintahan
Di dalam kehidupan manusia terdapat tiga hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang berlaku secara universal dan harus dipelihara dan mendapatkan jaminan institusi pemerintah atau negara. Ketiga hak dasar tersebut adalah ;
1.      Hak untuk hidup (life), tanpa rasa takut dan ancaman dari siapapun.
2.      Hak untuk bebas (liberty), untuk berbicara dan berekspresi, untuk beragama dan bercita-cita.
3.      Hak untuk memiliki sesuatu (property), baik materi maupun non material.
Para pencetus HAM menyadari kecenderungan manusia melanggar hak-hak sesamanya. Kemudian dirumuskan cara-cara terbaik untuk melindungi HAM, melalui hukum dan aturan. Dengan hukum dan aturan tersebut manusia dapat bebas tanpa rasa takut.
Untuk menjamin perlindungan HAM, mulanya masyarakat atau warganegara suatu kawasan bersepakat membentuk suatu lembaga bersama yang disebut pemerintah. Menurut John Lock (Pilsuf Barat), tujuan asasi dari pembentukan suatu pemerintahan tidak lain untuk melindungi HAM. Dengan pengertian lain bahwa tujuan tersebut adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban, agar masyarakat dapat menjalani kehidupan secara wajar.
Dalam pandangan pemerintahan modern, hakekat dibentuknya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mencapai tujuan bersama.
Pemerintahan modern, identik dengan pemerintahan demokratis, yaitu suatu bentuk pemerintahan negara yang dibentuk oleh, dari, dan untuk rakyat. Artinya, warganegara memiliki hak dan kesempatan untuk berpartisipasi, karena otoritas yang sesungguhnya suatu pemerintahan berasal adalah dari warganegara.

Pemerintahan Sipil
Secara etimologis, kata pemerintahan diartikan sebagai badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Kata pemerintah mengandung pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki kewenangan dan pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.
Istilah pemerintahan sipil, digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer. Kedua istilah tersebut muncul, ketika terjadi pembahasan tentang pola hubungan antara elit sipil yang diwakili oleh para politisi yang dipilih rakyat dalam pemilu, dengan elit militer dalam suatu pemerintahan.
Perbedaan mendasar antara kedua bentuk pemerintahan tersebut, terletak pada sejauh-mana kedua kelompok tersebut mempengaruhi atau mengontrol satu terhadap yang lain. Sekalipun antara sipil dan militer memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda, namun dalam sejarah pemerintahan keberadaan kedua kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan dari roda pemerintahan suatu negara.
Karakteristik umum intervensi militer yang berlebihan terhadap jalannya suatu pemerintahan sipil secara normatif disebut dengan istilah pretorianisme. Menurut Nordlinger, pemerintahan pretorianisme (pemerintahan militer) sangat bertentangan dengan nilai-nilai liberalisme seperti demokrasi, egalitarian, kebebasan dan kelembagaan liberal yang dimiliki oleh pemerintahan sipil.
Unsur-unsur demokrasi lainnya yang terdapat dalam pemerintahan sipil adalah adanya kebebasan beroposisi dan keberadaan pemerintahan dapat berlangsung jika keberadaan pihak sipil dihormati dan pemerintahan sipil dijalankan. Sebaliknya pemerintahan militer, memiliki karakteristik membatasi hak berpolitik, kebebasan dan persaingan.

Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi Konstitusional
Karakteristik dari demokrasi konstitusional adalah adanya unsur-unsur demokrasi di dalamnya yang berbasis pada prinsip-prinsip ;
1.          Demokrasi populis (popular democracy), yaitu menempatkan warganegara sebagai sumber utama otoritas pemerintahan yang mendapatkan hak untuk menjalankan roda pemerintahan dari rakyat.
2.          Mayoritas berkuasa dan hak minoritas (majority rule and minority rights), yaitu sekalipun pemerintahan dijalankan oleh suara mayoritas, namun hak-hak dasar individu dari kelompok minoritas dilindungi.
3.          Pembatasan pemerintahan (limited government),  yaitu adanya pembatasan kekuasaan pemerintah yang diatur oleh UU dan konstitusi (tertulis/tidak tertulis).
4.              Kekuasaan yang dibatasi oleh mekanisme dan institusi (institusional and procedural limitations on power), yaitu adanya kepastian institusi dan prosedural yang membatasi kekuasaan  pemerintahan   yang  meliputi  empat  unsur, yaitu ;
a.         Pemisahan dan pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya masing-masing yang meliputi kekuassan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b.        Kontrol dan keseimbangan (checks and balances), yaitu bahwa ketiga lembaga pemerintahan memiliki hak yang sama untuk saling melakukan kontrol, sehingga tercipta keseimbangan peran dalam pemerintahan.
c.         Proses hukum (due process of law), yaitu bahwa keberadaan HAM dilindungi oleh adanya jaminan proses hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum.
d.        Suksesi kekuasaan melalui Pemilu (leadership succession trough election), yaitu bahwa posisi-posisi penting dalam pemerintahan (misalnya presiden/wakil presiden), ditentukan dan dijamin melalui mekanisme pemilihan umum yang dilakukan secara damai dan tertib.
Pada dasarnya nilai-nilai fundamental demokrasi konstitusional, merupakan pancaran dari nilai-nilai martabat kemanusiaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu;
1.      Hak-hak dasar (basic rights), yaitu hak hidup, hak mendapatkan kebebasan, hak memiliki. Jika diperluas dapat menjadi; hak sosial-ekonomi (hak mendapatkan pekerjaan, perlindungan kesehatan dan hak mendapatkan pendidikan).
2.      Kebebasan berekspresi dan berkesadaran (freedom of conscience and expression), sebagaimana keduanya mendasari nilai-nilai konstitusi demokrasi tentang hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan hak untuk mengembangkan diri.
3.      Privasi dan masyarakat sipil (privacy and civil society),  yaitu adanya perlindungan atas kesatuan antara hak pribadi dan sosial yang meliputi keluarga, pribadi, agama, organisasi dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya.
4.      Keadilan (justice), yang meliputi ;
a.       Pemerataan keadilan (distributive justice).
b.      Kebenaran keadilan (corrective justice) atau keputusan hukum yang adil dan tepat sasaran.
c.       Mekanisme keadilan (prosedural justice) atau keputusan hukum yang dilakukan secara adil melalui lembaga-lembaga hukum.
5.      Persamaan (equality) yang meliputi ;
a.       Persamaan dalam partisipasi politik, yakni kesamaan hak setiap warganegara untuk memilih dan dipilih.
b.      Persamaan dihadapan hukum atau tidak adanya diskriminasi hukum yang didasari oleh perbedaan gender, usia, ras, agama, etnis, afiliasi politik dan kelas sosial.
c.       Persamaan ekonomi, atau semua warganegara memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan mendapatkan pelayanan dari negara dalam memajukan kehidupan ekonominya.
6.      Keterbukaan (openes),  yaitu bahwa demokrasi konstitusional dilandasi oleh filsafat politik keterbukaan atau kebebasan berpendapat (free market place of ideas),  dan ketersediaan informasi melalui pers yang bebas dan kebebasan berekspresi dalam segala lapangan kehidupan.

Bentuk Pemerintahan Sipil
Secara teoritis terdapat tiga model pemerintahan sipil,  yaitu;
1.    Model Tradisional
Model ini tidak memiliki perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer. Dikarenakan tidak adanya perbedaan prinsipil, maka konflik serius antara sipil dan militer tidak terjadi. Dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer terhadap elit sipil dalam kerajaan.
2.    Model Liberal
Adalah pemerintahan yang mendasarkan ada pemisahan para elitnya menurut keahlian dan tanggungjawab masing-masing sesuai dengan jabatannya dalam pemerintahan. Posisi militer berada di bawah kendali sipil, yang kekuasaannya dibatasi pada tanggungjawab mempertahankan negara dari serangan luar dan kekacauan yang timbul di dalam negeri.
Dalam bidang keamanan, perwira militer juga hanya dapat menasehati pemerintah serta harus menerima arahan dari pihak sipil manakala terjadi perbedaan pendapat antara keduanya. Model ini memberi kemungkinan militer melakukan kegiatan politik dan melakukan intervensi terhadap elit sipil akan tertutup.
Model pemerintahan liberal bukanlah dasar yang kokoh untuk pemerintahan sipil seperti yang diharapkan pada mulanya. Pihak sipil sendiri memang tidak selamanya memegang teguh prinsip tidak melakukan intervensi ini. Pada kenyataannya bukanlah hal aneh bagi presiden atau perdana menteri atau raja mencampuri urusan militer yang bersifat eksklusif, seperti kenaikan pangkat atau mutasi perwira untuk posisi atau jabatan tertentu. Sikap serupa terjadi pula manakala elit sipil menggunakan dan melibatkan kekuatan militer di bidang politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan kepentingan pemerintahan mereka.
3.    Model Serapan
Merupakan suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan para ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang model ini berkuasa, pejabat (dan prajurit reguler) selalu diindoktrinasi dengan ide-ide politik elit sipil yang berkuasa. Para ahli politik ditempatkan disetiap unit dan peringkat hirarki militer. Mereka bertanggungjawab kepada politisi yang lebih tinggi kepada pemimpin sipil (bukan kepada perwira militer yang lebih tinggi pangkatnya).

Pemerintahan Militer (Pretorianisme)
Konsep pemerintahan militer lebih banyak mengacu pada fenomena keterlibatan (intervensi) militer dalam arena politik atau urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Alasan keterlibatan tersebut disebabkan oleh pandangan subjektif kaum militer yang menggambarkan korp mereka sebagai perwira-perwira bertanggungjawab dan berjiwa patriotik yang mengintervensi pemerintahan sipil karena tanggungjawabnya kepada konstitusi dan negara. Makanya, peranan tentara dalam pemerintahan sipil tersebut dikenal dengan istilah pretorianisme.
Dalam konteks pemerintahan moden campur tangan korp militer dalam arena politik dirujuk dengan beberapa sebutan seperti ; prajurit berkuda,  karena posisi tradisional para perwira militer tersebut sebagai penunggang kuda. Mereka juga disebut dengan istilah tentara berbaju sipil, pasukan bedah besi, birokrat bersenjata  dan lain sebagainya.
Campur tangan militer terhadap pemerintahan sipil melalui beberapa cara yang kemudian menjadi ciri khas rezim militeristik. Campur tangan tersebut antara lain ;
a.       Ancaman militer secara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan.
b.      Mengambil alih kekuasaan pemerintah dan mengubah rezim sipil menjadi rezim militer.
Sedangkan ciri-ciri rezim militer ;
a.       Tentara mendapatkan kekuasaannya melalui kudeta.
b.      Para pejabat tinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata.
c.       Pemerintahan masih terus bergantung kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaannya.

Tiga Model Pemerintahan Militer (Pretoranisme)
Elit militer (para pretorian) memiliki sikap politik yang umumnya sama, yaitu meragukan kegiatan politik massa dan peranan politisi sipil, dan sikap menunjukkan tingkah laku politik mempertahankan kepentingan kelompok militer yang bersekutu. adapun perbedaan yang terjadi di antara para elit pretorian utamanya, dapat dinilai dari tingkat campur tangan militer dalam pemerintahan dan keinginan mencapai tujuan mereka.
1.      Moderator Pretorian
Ciri khas model ini adalah mereka menggunakan hak veto atas keputusan pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Sekalipun pihak sipil yang memerintah, namun kekuasan diawasi oleh militer yang tidak akan menerima supremasi penuh pihak sipil. Dengan pengertian lain, kelompok pretorian ini bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik.
Dari beberapa karakter umum model moderator pretorian ini, dapat disimpulkan bahwa kelompok militer ini merupakan kekuatan politik konservatif yang lebih menyukai untuk mengalihkan perubahan daripada pelaksanaannya yang dapat diperoleh dengan cara menggunakan kuasa mutlak tanpa harus menguasai pemerintahan.  Alasan-alasan inilah yang melatari mengapa kelompok tersebut tidak menguasai puncak pemerintahan.
2.      Pengawal Pretorian
Model ini merupakan fase lanjutan dari model moderator pretorian. Jika yang pertama bersifat konservatif, kelompok ini justru reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan pemerintahannya. Setelah para moderator berhasil menggulingkan kekuasaan pemerintah, akhirnya mereka mengubah diri sebagai pengawal pretorian, sebelum akhirnya berkuasa penuh atas pemerintahan.
Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Namun seluruh agenda perubahan yang mereka lakukan tetap dalam koridor membatasi kegiatan dan hak sipil. Bagi kelompok pengawal pretorian ini, perubahan mendasar dalam hal-hal tersebut tidaklah dibutuhkan, karenanya kelompok ini tidak menganggap penting untuk membentuk sebuah rezim yang dapat menguasai orang banyak.
3.      Penguasa Pretorian
Hal yang membedakan kelompok ini dari model lainnya adalah luasnya wilayah kekuasaan serta tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model ini, tidak saja menguasai pemerintahan tapi juga mendominasi rezim yang berkuasa, bahkan kadangkala mencoba menguasai sebagian besar kehidupan politik ekonomi dan sosial melalui pembentukan struktur cara-cara mobilisasi. Tingginya tujuan kekuasaan penguasa pretorian tersebut, membuat mereka menganggap dirinya sebagai kelompok modernis radikal atau kelompok revolusioner.

TRIASPOLITIKA (Trichotomy).
Salah satu prinsip dalam pemerintahan demokrasi adalah adanya unsur pembatasan kekuasaan yang dijamin oleh kepastian institusi dan mekanisme demokrasi (institusional and prosedural limitations on power). Di antara unsur utama dari prinsip ini adalah adanya pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara ke dalam tiga lembaga; eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Trias politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan; pertama, kekuasaan legislatif (kekuasan membuat UU, kedua,  kekuasaan eksekutif  (kekuasaan melaksanakan UU, ketiga, kekuasan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran UU. Secara normatif trias politika adalah suatu prinsip bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) sebaiknya tidak diserahkan kepada orang-orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.

Hubungan Sipil-Militer
Makna hubungan sipil-militer di Indonesia lebih mengandung pengertian adanya kerjasama, hubungan kemitraan atau keselarasan antara sipil dan militer. Secara historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-militer yang sangat nyata.
Menurut perspektif legal formal, persoalan utama hubungan sipil-militer terletak pada masalah ancaman yang dilakukan militer untuk mengontrol pemerintahan dan kebebasan individu. Pemecahan masalah ini, dipandang melalui perspektif memelihara kontrol sipil atas militer melalui seperangkat konstitusi checks and balances.
Perspektif tersebut masih dapat digunakan untuk melihat persoalan hubungan sipil-militer di Indonesia, mengingat besarnya intervensi militer di masa orde baru. Dalam wacana politik modern, intervensi militer dalam kehidupan politik merupakan gambaran umum. Peristiwa kudeta militer, pemberontakan militer, dan rezim militer menjadi peristiwa-peristiwa politik yang terus berkelanjutan.
Di dalam sejarah politik Indonesia, hubungan sipil-militer dapat dijelaskan melalui pasang surut intervensi sipil atas militer atau sebaliknya. Misalnya pada demokrasi parlementer, partai politik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subjektif. Dengan kata lain, kontrol subjektif sipil terhadap militer telah terjadi secara mendalam dalam tubuh militer, termasuk dalam masalah penentuan posisi jabatan di dalam struktur TNI (khususnya AD).
Sejarah hubungan sipil-militer mengalami perubahan drastis ketika ORBA lahir. Sepanjang rezim Soeharto militer menjadi kekuatan dominan atas sipil. Bahkan dapat disimpulkan peluang campur tangan militer ini semakin besar selama masa demokrasi Pancasila atau orde baru.

Model Dan Faktor Intervensi Militer
Terdapat lima model saluran intervensi yang dilakukan militer, yaitu ;
1.      Saluran konstitusi yang resmi.
2.      Kolusi atau kompetisi dengan otoritas sipil.
3.      Intimidasi terhadap otoritas sipil.
4.      Ancaman nonkooperasi dengan atau keharusan terhadap otoritas sipil dan
5.      Penggunaan kekerasan pada otoritas sipil.

Faktor Pendorong Intervensi Militer
Terdapat dua faktor (secara umum) campur tangan militer dalam politik. Pertama, dipengaruhi oleh unsur internal dan eksternal. Kedua, struktur politik dan institusional masyarakat Indonesia.
Faktor internal ABRI dapat dijelaskan  dalam perilaku militer dalam bentuk;
1.      Intervensi kalangan perwira karena dilandasi oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusi.
2.      Didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
3.      Kemahiran profesional dikalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil.
4.      Sebagai ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa.
Sedangkan faktor eksternal dapat intervensi militer dijelaskan sebagai berikut;
1.      Sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.
2.      Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah.
3.      Kelompok sipil dianggap tidak mampu melakukan modernisasi ekonomi.
4.      Terjadinya disintegrasi nasional.

Militer Dan Hambatan Demokatisasi
Problem serius negeri-negeri demokrasi baru adalah perlunya pembatasan kekuasaan politik kelompok militer dan menjadikan angkatan bersenjata suatu badan profesional yang memiliki komitmen untuk melindungi keamanan negeri dari gangguan dunia luar.
Sementara itu, negeri yang demokratis harus didukung oleh fondasi politik, sosial dan ekonomi yang kuat. Tetapi, untuk menuju kearah demokratisasi harus ditopang oleh kekuatan-kekuatan pembebas. Sedangkan untuk mendorong semua kelompok-kelompok kepentingan menjadi kekuatan pembebas, bukanlah sesuatu yang mudah.
Untuk mewujudkan tatanan demokrasi, seluruh struktur kepentingan perlu melibatkan diri dalam transisi ke arah demokratisasi. Kepentingan tersebut salah satunya adalah unsur angkatan bersenjata (militer) yang ingin menjaga otonomi institusinya. Kelompok lainnya adalah; kaum borjuasi, teknokrat dan polisi dan kelas pekerja.
Dalam rangka transisi Indonesia menuju demokrasi, semua kelompok (utamanya komponen dalam sipil dan militer) harus mendukung reposisi peran dan fungsi ABRI dalam kehidupan sosial dan politik. Keinginan internal ABRI menjadi kelompok profesional, independen dan kedap dari segala campur tangan pihak sipil harus mendapat respon dan dukungan dari semua komponen bangsa. Mengabaikan komitmen ini, keberadaan ABRI hanya akan menjadi faktor penghambat bagi proses demokrasi di masa mendatang.
Untuk menjalakan komitmen demokrasi dalam perspektif  hubungan sipil-militer harus memfokuskan pada terciptanya supremasi sipil (civilian supremacy), yang dijalankan oleh para politisi sipil yang dipilih rakyat dalam pemilu. Dalam kerangka supremasi sipil peran optimal para politisi diharapkan melahirkan kontrol objektif sipil (objective civilian control) atas militer dapat dilakukan.
Kontrol objektif sipil atas militer hanya dapat terlaksana jika tersedia perUU yang mengatur peran dan wewenang militer dalam negara. Untuk menghasilkan perundangan yang demokratis, mestilah berasal dari aspirasi rakyat melalui para wakilnya di DPR. Melalui aksi-aksi kolektif masyarakat secara demokratis dan tepat sasaran (melalui saluran dan mekanisme demokrasi), diharapkan masyarakat mampu menjadikan isu hubungan sipil-militer menjadi isu nasional yang akhirnya dapat mempengaruhi kebijakan badan legislatif lebih demokratis berdasarkan prinsip supremasi sipil atas militer.

Tugas Rumah
1.      Apakah tujuan utama dari pembentukan pemerintah? sebutkan unsur-unsur yang terdapat pada pemerintahan demokratis?
2.      Apakah prinsip trias politika telah berjalan dalam sistem pemerintahan Indonesia?
3.      Sistem pemilu model apa yang sesuai dengan kondisi sosial politik Indonesia? Mungkinkah diterapkan sistem pemilu gabungan  antara sistem distrik dengan sistem proporsional?
4.      Jelaskan peranan militer pada masa pemerintahan ORLA, ORBA dan pemerintahan sekarang ini? Adakah unsur-unsur intervensi sipil terhadap militer semasa ORLA kembali terulang sekarang ini ? atau sebaliknya?
5.      Bagaimana cara militer melakukan intervensi sipil  dan buatlah  karakteristik  pemerintahan  militer yang berkuasa?
6.      Buatlah sebuah diskusi dengan tema “ memberdayakan peran sipil dalam rangka melakukan kontrol terhadap peran militer dalamkehidupan berbangsa dan bernegara “?
7.      Tulislah hasil diskusi kelas dalam bentuk paper?
8.      Dapatkah aksi kolektif masyarakat melalui lembaga DPR melahirkan UU tentang peran dan fungsi militer dalam negara Indonesia yang demokratis ? Bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melakukan aksi kolektif itu, dan bagaimana seharusnya saudara berperan?

Bahan Bacaan
Anwar, Dewi Fortuna. (1998). Format politik orde baru dan agenda pembangunan demokrasi politik dalam demitologisasi politik Indonesia. Jakarta: Pustaka CIDESINDO.
Bhakti, Ikrar Nusa. Et.al. (1999). Tentara mendamba mitra. Bandung: Mizan.
-------, (2000). Hubungan baru sipil-militer. HU: Kompas 28 Juni 2000.
Budiardjo, Miriam. (1978). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia.
Cochran, Charles, L. (tt). Civil-militery Relations. New York: The Free Press.
Center  for  Civic  Education. (tt). Constitutional democracy, part one ; essentials elements. T.p.tp.
Huntington, Samuel, P. (1997). Gelombang demokratisasi ketiga (Terjemahan Asril Marjohan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Karim, M. Rusli. (1998). Peluang dan hambatan demokrasi. Dalm Jurnal Analisa CSIS th XXVII Nomor 1 Januari-Maret.
Lubis, M, Solly. (1982). Asas-asas hukum tata negara. Bandung: Penerbit Alumni.
Nordlinger, Eric, A. (1994). Militer dalam politik (Terjemahan Sahat Simamora). Jakarta: Rineka Cipta.
Ong Hok Ham. (1995). Kedudukan politik kaum militer dalam sejarah dalam analisis kekuatan politik di Indonesia. (Pilihan Artikel Prisma). Jakarta: LP3ES.
Rasyid, Muhammad Ryas. (2000). Makna pemerintahan. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Samego, Indria. (1998). Bila ABRI menghendaki. Bandung: Mizan.
Syafi’ie, Inu Kencana. (1994). Ilmu pemerintahan. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Sunny, Ismail. (1986). Pergeseran kekuasaan eksekutif. Jakarta: Aksara Baru.


0 komentar:

Posting Komentar