Filsafat
Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya,
tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
Negara.
Tokoh
Filsafat Barat
Selanjutnya
dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury,
seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali
buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab,
yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama
filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel
Kant, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan
Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi
filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa
Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema
tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
a. Tema Ontology
Ontologi membahas
tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara
empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup,
atau tata surya.
b. Tema Epistemology
Kata ini berasal
dari bahasa Yunani “episteme” (pengetahuan) dan “logos” (kata/pembicaraan/ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan?, bagaimana
karakteristiknya?, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan?.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan
berbagai metode, di antaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
c. Tema Aksiologi
Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi berasal dari kata Yunani: “axion” (nilai) dan “logos” (teori), yang
berarti teori tentang nilai.
1.
Plato
Plato lahir sekitar
427 SM - meninggal sekitar 347 SM, dia adalah seorang filsuf dan matematikawan
Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi
pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi
oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling
terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia,
"negeri") yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya
pada keadaan "ideal". Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di
mana Socrates adalah peserta utama. Salah satu perumpamaan Plato yang
termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua. Cicero mengatakan Plato scribend est mortuus
(Plato meninggal ketika sedang menulis).
2.
Thomas Aquinas
Aquinas dilahirkan
di Roccasecca dekat Napoli, Italia dalam keluarga bangsawan Aquino. Ayahnya
ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan ibunya bernama Countess Teodora
Carracciolo. Kedua orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh.
Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino
agar dibina untuk menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada
di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples. Di sana ia belajar mengenai
kesenian dan filsafat (1239-1244).
Selama di sana, ia
mulai tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan berusaha untuk pindah ke
Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperan pada abad itu. Keinginannya
tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca
setahun lebih lamanya. Namun, karena tekadnya pada tahun 1245, Thomas resmi
menjadi anggota Ordo Dominikan. Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim
belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada
masa itu. Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245-1248). Di sinilah ia
berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles
kepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di
Cologne, Perancis, pada tahun 1248-1252. Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris
dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus
Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris.
Thomas ditugaskan
untuk memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa
kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh
tahun lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris untuk tiga
tahun karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah
Dominikan di Naples. Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas
sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII
mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323.
3.
René Descartes
lahir di La Haye,
Perancis, 31 Maret 1596–meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada
umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur
berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya
yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima
Philosophia (1641).Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat
Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir
paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi
generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa
yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi
filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18. Pemikirannya membuat sebuah revolusi
falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada
yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir. Dalam bahasa Latin
kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je
pense donc je suis. Keduanya artinya adalah: "Aku berpikir maka aku
ada". (I think, therefore I am).
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal
sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan
kalkulus modern. Ia juga pernah menulis buku berjudul Rules for the Direction of the Mind.
4.
Immanuel Kant
Dia lahir di
Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur
79 tahun, dia adalah seorang filsuf Jerman. Karya yang terpenting adalah
“Kritik der Reinen Vernunft”, 1781.
Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata
lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan
tiga pertanyaan: (1). Apakah yang bisa kuketahui? (2). Apakah yang harus
kulakukan? (3). Apakah yang bisa kuharapkan? Pertanyaan ini dijawab sebagai
berikut: (1). Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi
dengan panca indria. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
(2). Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah
peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”.
Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri,
sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang
mencuri, masyarakat tidak akan jalan. (3). Yang bisa diharapkan manusia
ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
5.
Arthur Schopenhauer
Dia adalah seorang
filsuf Jerman Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788. Ia menempuh
pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia mempelajari filsafat di
Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun
1813. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia
di sana pada tahun 1860.
Dalam perkembangan
filsafat Schopenhauer, ia dipengaruhi dengan kuat oleh Immanuel Kant dan juga
pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang
dunia sebagai ide dan kehendak. Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia
terbatas pada bidang penampakan atau fenomena, sehingga benda pada dirinya
sendiri (das Ding an sich) tidak pernah
bisa diketahui manusia. Misalnya, apa yang manusia ketahui tentang pohon
bukanlah pohon itu sendiri, melainkan gagasan orang itu tentang pohon.
Schopenhauer mengembangkan pemikiran Kant tersebut dengan menyatakan bahwa
benda-pada-dirinya-sendiri itu bisa diketahui, yakni "kehendak".
6.
Karl Heinrich Marx
Lahir di Trier,
Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun. Dia
adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari
Prusia. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling
terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan
kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat
hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas", sebagaimana
yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
7.
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Lahir di Rocken
dekat Lutzen, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur
55 tahun. Dia adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang
meneliti teks-teks kuno. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari
eksistensialisme modern yang ateistis.
8.
Jean-Paul Sartre
Dia lahir di Paris,
Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun.
Dia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap
mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu
ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya
ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu.
Karena itu, menurut
Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Pada
tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia
meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).
Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah
seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan
karya penulisan diantaranya berjudul Being
and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Tokoh
Filsafat Timur
Filsafat Timur
telah melahirkan banyak peradaban besar serta memberikan kontribusi keilmuan
bukan hanya untuk dunia Timur tetapi juga dunia barat. Filsafat Timur merupakan
produk pemikiran filosofis masyarakat Asia terutama masyarakat China, India,
Jepang, Islam dan beberapaa daerah Asia lainnya. Masing-masing pemikiran
Filsafat mereka sangat plural dengan kondisi budaya dan sosial yang ada.
Filsafat China
terbagi menjadi dua pemikiran Filsafat antara Filsafat Konfusianisme dan
Taoisme, Filsafat India terbagi menjadi dua golongan Filsafat Hindu dan
Buddhisme, Filsafat Islam secara garis besar terbagi menjadi filsafat teoretis (al-hikmah al-nazhariyyah) dan filsafat
praktis (al-hikmah al-‘amaliyyah).
Filsafat Timur[1]
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan Filsafat Barat, dimana dalam Filsafat
Timur kental sekali pemikirannya berkaitan dengan Agama. Meskipun banyak yang
menyangkal terutama kaum postkolonial keberadaan Keilmuan Timur bukan dianggap
sebagai suatu Filsafat, karena dianggap memiliki unsur keagamaan ataupun
mistik. Pandangan-pandangan miring ini sebenarnya
mudah dibantah oleh fakta sejarah bagaimana pemikiran-pemikiran Timur telah
menghasilkan Peradaban besar dan penemuan-penemuan penting keilmuan yang telah
memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia.
Kerangka
pemikiran Filsafat Timur inilah yang telah memunculkan berbagai kemajuan
dibidang keilmuan, bahkan Dunia Barat sempat berguru dan menimbah keilmuan
Timur untuk dijadikan sebagai pegangan dunia barat
seperti contoh kitab al-Quran fi al-Tibb
atau di Barat dikenal The Canon sebagai salah satu pemikiran besar Filosof
Islam Ibnu Sina atau Avecinna sebagai buku panduan kedokteran yang sampai
sekarang masih digunakan. Bukan hanya Ibnu Sina tetapi juga masih banyak
tokoh-tokoh filosof Timur yang telah mempengaruhi pemikiran Barat, sehingga
pandangan tentang pemikiran Timur bukan bagian dari Filsafat adalah salah
besar.
1.
Filsafat India
Filsafat India termasuk filsafat tertua
setelah filsafat barat dan filsafat cina. Alam pemikiran India lebih mendekati
arti philosophia itu sendiri, yakni ajaran hidup yang bertujuan untuk
memaparkan bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan yang kekal. Alam pikiran
India boleh dikatakan “Magic Religius” dan karena itulah filsafat ini
berkembang pada saat itu. Tidak mencakup dalam bidang ilmu saja, tetapi juga
suatu faktor penting dalam usaha pembebasan diri.
Bagus Takwin (2003:38), menguraikan bahwa;
Awal mula Hindu tidak lepas dari agama Hindu, atau lebih luas lagi Hinduisme.
Hinduisme adalah sebuah nama yang menaungi berbagai agama dan sebuah nama agama
yang berbeda bernaung di bawahnya. Pada dasarnya Hinduisme merupakan suatu
kepercayaan satu kepercayaan monetheistik. Percaya hanya pada satu Tuhan.
Hinduisme dikenal juga sebagai Sanathana Dharma, yang berarti “kebajikan”.
Filsafat Cina adalah salah satu dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya
menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar yang mempengaruhi
sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat
Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan
yang berkembang dari masa ke masa.
2. Perkembangan Awal Filsafat Cina
Berdasarkan
penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM)
baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan
komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam.
Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche,
Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan. Pada masa budaya
Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah,
kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam
dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka
terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga
tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak
awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.
Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula
sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze,
Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas
filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri
khusus yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup
mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti.
Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara
raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya
rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan
peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya
pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat
pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan
bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan
moral mereka dengan baik.
3. Filsafat Islam
Dalam Ensiklopedi
Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat
Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa
Macedonia (336-323SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan
Arbela (sebelah timur Tigris). Alexander Agung datang dengan tidak
menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha
menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat
kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di
Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia. Pada masa Dinasti
Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena
ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan
Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena
orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur
pemerintahan pusat.
Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya
tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya.
Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan
lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makmun
(198-218 H/813-833 M). Filsafat Yunani paling dominan masuk ke duniaIslam di
tandai dengan adanya penerjemahan-penerjemahan buku-buku filsafat. Upaya-upaya
umat Islam ini dapat memunculkan tokoh filosuf Islam terkenal ke dalam atau
luar Islam. Sebagaimana nama: Al-Kindi,
Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibnu Bajjah dan masih banyak lagi. Kelahiran ilmu filsafat
Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat
dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan
sejak masa klasik Islam. Dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa usaha
penerjemahan ini tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani
saja, tetapi juga naskah-naskah dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani,
Persia, dan India.
Tokoh
Filsafat Islam
1.
Al-Kindi
a.
Sejarah
Hidup
Al-Kindi, nama
lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu
Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama kabilah
terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di
Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal
untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat.
Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan
Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima
khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan
Al-Mutawakkil.
Dalam hal
pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan
teologi Islam. Dan ia pernah menetap di
Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan
intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran
jika ia dapat menguasai ilmu astronomi, ilmu
ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi, optika,
kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat
dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf
al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
b.
Filsafat
atau Pemikirannya
1)
Talfiq
Al-Kindi
berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat
adalah pengetahuan yang benar (knowledge
of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan
benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh
filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan
teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari
teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus
menjadi tujuan dari keduanya. Agama di samping wahyu mempergunakan akal, dan
filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan.
Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian,
orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari
kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Di samping itu, karena pengetahuan tentang
kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa
yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya
dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira
kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi
para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak wajar
merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada
seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan
menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari
kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada
akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena
hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaaan antara keduanya, yaitu:
a)
Filsafat termasuk humaniora yang dicapai
filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang
menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
b)
Jawaban filsafat menunjukan
ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama
lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan
menyakinkan dengan mutlak.
c)
Filsafat mempergunakan metode logika,
sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun
Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan
akal.
2)
Jiwa
Tentang jiwa,
menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia.
Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama
dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari
tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling
berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi
tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan
pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat
Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat
Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa
adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan esensial, dan kemusnahan badan membawa
kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa
dan badan adalah kesatuan accidental dan
temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi
tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya
pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
3)
Moral
Menurut
Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa
sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam
para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof
yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmah dalam
keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan
tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang
menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau
moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
2. Al-Farabi
a.
Sejarah Hidup
Nama lengkapnya
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan
orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia
lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada
tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah
al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai
seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi
memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti
Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
b.
Pemikirannya
1)
Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha
memadukan beberapa aliran filsafat yang
berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga
antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang
mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi
oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato.
Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk
mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah
idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih
dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea
merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya.
Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila
menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya
Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua
filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun
terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
a)
Definisi yang dibuat tentang filsafat
tidak benar.
b)
Adanya kekeliruan dalam pengetahuan
orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam
dasa-dasar falsafi.
c)
Pengetahuan tentang adanya perbedaan
antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu
suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan
agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada
kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh
kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran.
Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya,
dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat
Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa
ajaran Islam mutlak kebenarannya.
2)
Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh
filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi,
terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke
badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident,
artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad
tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang
berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,
beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap
menerimanya.
Mengenai
keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa
khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya
badan.
3)
Politik
Pemikiran
Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan
dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’
al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak
dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada
kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai
fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena
kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk
mengendalikan kerja otak dilakukan oleh
hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam
negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya
sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara
berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa:
kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan,
sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran,
kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian,
serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja
sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat
lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara
seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak
terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut,
pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang
termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran
Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang
ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku
suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri,
sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam
pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran
Al-Farabi itu adalah situasi pada waktu
itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan
pemberontakan.
3.
Ibnu
Sina
a.
Sejarah Hidup
Nama lengkapnya
Abu Ali al-Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara,
Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa
sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar
sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah
dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan
ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
b.
Pemikirannya
a)
Kenabian
Sejalan dengan
teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat
kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak
yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara
langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai
daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak
praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
Nabi Muhammad
memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi
yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu
mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada
umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui
keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni
dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian
kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi
percaya tetapi juga terdorong untuk
berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan
imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi
sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan
imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan
oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b)
Tasawuf
Tasawuf, menurut
ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan
sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf
dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal,
lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa
manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk
berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai
bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak
diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa
puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan.
Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran
dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
4.
Al-Razi
a.
Sejarah
lahir
Nama lengkap
al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana
keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy,
sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang
ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia,
merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama
kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong
bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa
nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun
Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu
ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya
(gelarnya).
Beliau pernah
menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau
memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat
eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang
penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada
pada masa itu.
Ayahnya berharap
Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi
ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang
intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang intelektual
merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena
ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal
sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena
tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena
reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit
Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia
berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan
Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota
kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya
dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60
tahun.
b.
Karyanya
Mengenai
karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan
ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada
Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam
menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di
obati dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak
sebentar lagi dia akan meninggal.
Tak heran jika
karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu
kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi: Ilmu Falak, Matematika, Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab
As-rar, Bidang kedoteran, yang terkenal dengan
al-mansuri Liber al-Almansoris, Bidang Medis,
yang terkenal dengan kitab Al-Hawi, Mengenai
penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah.
Sebagian dari
karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il
Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah
al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli
kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
c.
Filsafatnya
Lima Kekal
(Al-Qadiim)
Karena
filsafatnya terkenal dengan lima yang kekal, sebenarnya
pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada
pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal, antara
lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal),
Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga
mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah
dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif,
dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala
(Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam
ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan alam ini
dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal),
menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi
kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi
pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang
tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia
juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia
berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang,
maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam
pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang
terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang universal yang tidak terikat dengan
maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang,
dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori
yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang
bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu
mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan
planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini
tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu
sebelum adanya waktu yang terbatas.
5.
Ibnu
Miskawaih
a.
Sejarah
lahir
Nama lengkap
Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih.
Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan
pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan,
tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah
terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar
filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih
adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya kepada
sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (320–448M).
Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah menjabat sebagai kepala pemerintahan,
ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti pengangkatannya sebagai
Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara negara.
b.
Karyanya
Dalam karyanya
dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia
lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, (al-falsafat al-‘amaliyat) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan
(al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat).
Dalam buku The
History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz
al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan (sebuah sejarah tentang banjir
besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid (yakni koleksi
anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat (isinya
ahlak dan politik), al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan), al-Jaami’,
al-Siyaab, On the Simple Drugs (tentang kedokteran), On the composition of the
Bajats (tentang kedokteran), Kitaab al-Ashribah (tentang minuman), Tahziib
al-Akhlak (tentang akhlak), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar
al-Nafs, ajwibaat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il
al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi
Haqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.
c.
Akhlak
Ibnu miskawaih
yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan.
Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali
pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan
beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya
cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih
juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur
watak kebiasaan dengan melakukan latihan (riyadhoh). Serta dia berpandangan
bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya
selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya
yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan
yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah;
sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini
lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana
sifat berani ini timbul dari sifat hilm (mawas diri). Sedangkan sifat utama
bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir
dati ‘iffah (memelihara kehormatan diri).
Dapat
disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul
darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh,
rakus, penakut, dan zalim.
6.
Ibnu
Rusyd
a.
Sejarah
kelahirannya
Nama asli dari
Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd,
beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126M, 15 tahun setelah
kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan
Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh
keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun
565 H/1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan
pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu
faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan
hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan
tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta
kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran apabila
dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal yang sangat
mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal (masa
baligh) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak
pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca, kecuali pada
malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti
ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya
sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan
pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi
pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan
sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja,
semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di
bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti
kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun lamanya
ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah
mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang
sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/9 Shafar 595 H di marakesh
dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan
tahun Hijriyah.
b.
Karyanya
Tulisan ibnu
Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi
maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi
antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-Sadillah
fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode
para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan
tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut
al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat
al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
c.
Hukum
Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat
Berikut ini
merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang
memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;
1)
Terdapat hubungan yang dharuuriiy
(pasti) antara sebab dan akibat
Menurut ibnu
rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki
sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya
untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada
sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan
adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan
antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api
yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya adalah
membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan
merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu,
tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah
sesuatu yang mustahil.
2)
Hubungan sebab-akibat dengan adat atau
kebiasaan
Menurut ibnu
rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya
mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd
mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah),
atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau
predikat terhadap maujud ini.
Kalaulah yang
dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan
adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang
mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan
dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan
tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini
hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain
itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah
adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud,
sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada
nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).
3)
Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu
Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang
mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap
sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
4)
Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan
pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan
mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini,
ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat
al-Jawaaniy.
Mukjizat
al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak
sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah
menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya.
Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan
diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan.
Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai
mukjizat lagi.
Mukjizat
al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai
dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran.
Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang
sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains)
dimana pun dan kapan pun.
7.
Tokoh Filsafat Kristen
Thomas Aquinas
(1225-1274) adalah seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat
berpengaruh pada abad pertengahan. Karya Thomas Aquinas yang terkenal adalah
Summa Theologiae (1273). Buku ini merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles
dan ajaran Gereja Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai
ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII. Thomas Aquinas
juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso d’Aquino).
Aquinas
dilahirkan di Roccasecca dekat Napoli, Italia. dalam keluarga bangsawan Aquino.
Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan ibunya bernama Countess Teodora
Carracciolo. Kedua orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Itulah
sebabnya anaknya, Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di
Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh
tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples.
Di sana ia
belajar mengenai kesenian dan filsafat (1239-1244). Selama di sana, ia mulai
tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan ia berusaha untuk pindah ke Ordo
Dominikan, suatu ordo yang sangat berperanan pada abad itu. Keinginannya tidak
direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun
lebih lamanya. Namun, tekadnya sudah bulat sehingga orang tuanya menyerah
kepada keinginan anaknya. Pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo
Dominikan.
Sebagai anggota
Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah
universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Ia belajar di sana selama tiga
tahun (1245-1248). Di sinilah ia berkenalan dengan
Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya. Ia menemani
Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis,
pada tahun 1248-1252.
Pada tahun 1252,
ia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences,
karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris. Kecakapan Thomas sangat terkenal
sehingga ia ditugaskan untuk memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan
teologia di beberapa kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan
Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil
kembali ke Paris. Ia hanya tiga tahun berada di sana karena pada tahun 1272 ia
ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah Dominikan di Naples.
Dalam perjalanan
menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara
Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang
kudus pada tahun 1323
Filosof Itali
Thomas Aquinas masyhur karena tulisan-tulisan teologinya, khusus tulisan Summa
Theologia-nya yang mungkin pernyataan yang punya bobot kuasa terbesar dalam
doktrin teologi Katolik yang pernah ada. Tak salah kalau dibilang, tak pernah
ada orang yang menggarap sistem filosofi yang begitu lengkap dan begitu
terperinci dan begitu berpertimbangan cermat seperti dilakukan oleh Thomas
Aquinas.
Dia memasalahkan
soal-soal etika juga. Tetapi dalam tulisan-tulisannya, walaupun dia
sistematiskan keyakinan-keyakinan Katolik sebelumnya, tidaklah mencerminkan
sebuah perubahan besar dalam cita-cita etika atau dalam pandangan politik. Juga
tampaknya para pembaca tulisan-tulisan Aquinas tidak lantas terpengaruh menjadi
pemeluk Katolik atau Kristen. Karena itu, betapa pun pandai dan cermat
spekulasi Aquinas, semua pun meragukan tulisan-tulisan itu punya pengaruh
banyak terhadap perilaku manusia atau terhadap jalannya arah sejarah. Atas
dasar itulah dia tidak terlalu mendapat tempat dari daftar utama buku seratus
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah
8.
Tokoh Filsafat Ateis
a.
Sejarah Hidup
Ludwig Andreas
Feuerbach (1804-1872) Lahir di Bavaria, Jerman, dalam keluarga
pengacara, akademisi, dan orang-orang beriman. Sejak usia 15 tahun, Feuerbach
merasa tertarik dengan soal-soal keagamaan, baru setelah usia 19 tahun ia pergi
ke Heidelberg University untuk belajar teologi. Pada tahun 1824, Feuerbach
pergi ke Berlin, dimana ia mengikuti kuliah-kuliah
Hegel dan berubah ke filsafat, meski pada akhirnya pemikiran Hegel bertentangan
dengannya.
Oleh karenanya Feuerbach di antara murid-murid Hegel dari “Sayap
Kiri”. Mereka ini menerima metode dialektis, tetapi menolak ajarannya.
Feuerbach pernah mengajar di Universitas, tetapi ia bekerja terutama sebagai
seorang penulis. Ia meninggal tahun 1872, dan dimakamkan di Nurenberg dan
20.000 orang datang untuk menghormati pemakamannya.
b.
Pemikiran-Pemikiran
1)
Allah adalah Proyeksi Manusia
Dalam pandangan Hegel,
lewat kesadaran manusialah maka, Tuhan (Allah) mengungkapkan diri-Nya. Tuhan
(Allah) sebagai Roh Alam Semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya, dan
para manusia tidak sadar mereka digerakkan
olehnya. Jadi segala keputusan-keputusan dan usaha-usaha manusia, masing-masing
merupakan tujuan dari Roh Alah Semesta tersebut,
Gagasan inti Hegel inilah yang menjadi sasaran
kritik dari Feuerbach. Karena, bagi Feuerbach, apa yang dikatakan oleh Hegel
bahwasannya Tuhanlah yang nyata, sedangkan manusia tidak nyata adalah salah.
Karena, yang nyata dan tak terbantahkan itu adalah manusia, bukan Tuhan.
Manusia bukanlah pikiran Tuhan, melainkan
Tuhanlah pikiran manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan Tuhan
adalah ciptaan dari angan-angan manusia.
Penolakan Feuerbach ini, didasarkan dengan
kepastian inderawi sebagai dasar dari realitas. Realitas yang tak terbantah
adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif. Manusia harus bertolak
dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah dari kepastian inderawi.
Realitas inderawi yang langsung menyatakan diri. Maka hanya ada satu titik
tolak yang sah bagi filsafat, yaitu inderawi manusia. Maka dengan demikian
filsafat Hegel oleh Feuerbach diterjemahkan dalam
Materialisme.
2)
Teologi sebagai Antropologi.
Dalam pandangan
Feuerbach, Tuhan tidak memiliki eksistensi objektif lepas dari kesadaran
manusia. Adanya Tuhan hanyalah perwujudan sekaligus personifikasi transenden
dari damba imanen, yang ada pada pikiran manusia.
Dengan menyebut Tuhan yang Maha Tahu, manusia
sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu;
dengan mengatakan Tuhan ada dimana-mana, manusia memuaskan keinginannya untuk
tidak terikat pada ruang; dengan menyebut Tuhan itu kekal, manusia mewujudkan dambaannya
untuk tidak terikat oleh waktu; dengan menyebut Tuhan itu Maha Kuasa, manusia
mewujudkan keinginannya untuk bisa berbuat apapun yang ia kehendaki. Dengan
demikian bukan Tuhan yang menciptakan manusia (menurut citra-Nya, sebagaimana
yang dikatakan oleh Kitab Suci dalm kejadian 1,26), melainkan manusialah yang
menciptakan Tuhan menurut citra manusia.
Setelah ajaran teologi terungkapkan sebagai
antropologi, maka kepercayaan kepada Tuhan, akan muncul sebagai kepercayaan
kepada dirinya sendiri. Dengan demikian, maka teologi menjadi antropoteisme,
yakni manusia sebagai Tuhan. “Homo Homini Deus Est”.
3)
Alienasi dan Proyeksi
Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa manusia tidak diciptakan
oleh Tuhan melainkan Tuhan diciptakan oleh manusia, maka dalam proses ini
(yakni penciptaan Tuhan), Feuerbach menyususnnya dalam tiga tahapan, yakni;
(1) Manusia
mengalami bahwa dia dapat bertanya terus-menerus, bahwa ia mempunyai kesadaran
yang seakan-akan tak terhingga. Kesadaran yang dapat membuat, apa-apa saja
(segala hal) yang tak pernah dapat ditemukan batas-batasnya.
(2) “Ketidak-terhinggaan”,
yang mula-mula hanya suatu sifat dari kesadaran, akhirnya dijadikan sesuatu.
Manusia menemukan ketidakterhinggaan di dalam dirinya sendiri, dan itu kemusian
dianggap dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri diluar manusia.
“ketakterhinggaan” ini mulai ditulis dengan huruf-huruf besar oleh manusia,
“Ketakterhinggaan” ini dijadikan Tuhan.
(3) “Tuhan”
yang hanya merupakan ciptaan dari manusia tersebut, dihormati dalam kebaktian.
Itu berarti bahwa manusia telah menjadi hamba dari ciptaannya tersebut. Maka,
dengan demikian, manusia telah diasingkan (teralienasi) dari dirinya sendiri.
Dan untuk dapat terbebas dari alienasi ini manusia harus mengerti bahwa “Tuhan
(Allah)” itu hanya merupakan ciptaan dari dia sendiri.
4)
Agama adalah Instiitusi Alienatif
Dalam agama, apa yang dikatakan tentang Tuhan,
sebenarnya merupakan perkataan manusia
tentang dirinya sendiri. Isi dari agama hanya merupakan realitas manusia yang
di proyeksikan ke dalam diri manusia yang transenden. Tetapi, karena manusia
sendiri tidak mampu memahaminya bahwa agama itu sebenarnya hanya merupakan
hakekat dari manusia itu sendiri, maka dalam agama hakekat manusia diasingkan
dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, maka agama merupakan tanda dari
keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Jadi dengan begitu, adanya agama
sebenarnya merupakan Instiitusi Alienatif.
Adanya
agama juga hanya akan mempertentangkan diri manusia dengan Tuhan. Tuhan “Allah”
yang bersifat Tak-Terbatas, Sempurna, Abadi, Maha Kuasa, dan Suci. Sedangkan
manusia bersifat terbatas, tidak sempurna, sementara, lemah, dan berdosa. Oleh karena itu, agar manusia dapat
melepaskan diri dari keterasingannya dan mencapai hakekatnya itu, manusia harus
menolak agama dan Tuhan “Allah”.
[1]Filsafat Timur merupakan sebutan bagi
pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti
Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat
Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu
sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural.
0 komentar:
Posting Komentar