MEMPERKUKUH
NILAI-NILAI
PANCASILA
Perjalanan hidup suatu bangsa sangat
tergantung pada efektifitas penyelenggaraan suatu negara. Pancasila sebagai
dasar negara dalam mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun pertahanan-keamanan. Berdasar
pada latar belakang historis yang sulit dibantah, bahwa 1 Juni 1945 yang
disebut sebagai lahirnya pancasila, Ir. Soekarno sebagai tokoh nasional yang
menggali Pancasila tidak pernah berbicara ataupun menulis tentang pancasila,
baik dalam sebagai pandangan hidup, atau apalagi sebagai dasar negara. Dalam
pidatonya, beliau menyebutkan atau menjelaskan bahwa gagasan tentang pancasila
tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam
sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat mengenai apa yang akan dijadikan
dasar negara Indonesia yang akan dibentuk?
Latar Belakang
Lima dasar atau sila yang buliau ajukan itu dinamakan filosofische grondslag yaitu nilai-nilai
esensial yang terkandung dalam pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan serta keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah
dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan
negara. Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses
sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya
kerajaan-kerajaan pada abad ke IV dan ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan
Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII ketika timbulnya
kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur dan lainnya.
Dasar-dasar pembentukan Nasionalisme modern dirintis oleh
para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para
tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada
sumpah pemuda pada tahun 1928.
Nilai-Nilai Pancasila Pada Masa Pra Sejarah
Ahli geologi menyatakan bahwa kepulauan Indonesia terjadi
dalam pertengahan jaman tersier kira-kira 60 juta tahun yang silam. Baru pada
jaman quarter yang dimulai sekitar
600.000 tahun yang silam Indonesia didiami oleh manusia, dan berdasarkan hasil
penemuan fosil Meganthropus Paleo
Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis, Homo Wajakensis, serta Homo Mojokertensis.
Berdasarkan artefak yang ditinggalkan, mereka mengalami
hidup tiga jaman yaitu: Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolithicum. Inti dari kehidupan bangsa Indonesia pada
masaPra Sejarah hakekatnya adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu :
1.
Nilai Religi
Adanya kerangka mayat pada Paleolitikum menggambarkan adanya penguburan, terutama Wajakensis dan mungkin Pithecanthropus Erectus, serta dalam
menghadapi tantangan alam tenaga gaib sangat tampak. Selain itu ditemukan
alat-alat baik dari batu maupun perunggu yang digunakan untuk aktifitas religi
seprti upacara mendatangkan hujan, dan lain-lain. Adanya keyakinan terhadap
pemujaan roh leluhur juga dan penempatan menhir
di tempat-tempat yang tinggi yang dianggap sebagai tempat roh leluhur, tempat
yang penuh keajaiban dan sebagai batas antara dunia manusia dan roh leluhur.
Jelas bahwa masa Pra Sejarah sudah mengenal nilai-nilai
kehidupan religi dalam makna animism
dan dinamism sebagai wujud dari
religious behavior.
2.
Nilai Peri Kemanusiaan
Nilai ini tampak dalam perilaku kehidupan saaat itu
misalnya penghargaan terhadap hakekat kemanusiaan yang ditandai dengan
penghargaan yang tinggi terhadap manusia meskipun sudah meninggal. Hal ini
menggambarkan perilaku berbuat baik terhaap sesama manusia, yang pada
hakekatnya merupakan wujud kesadaran akan nilai kemanusiaan. Mereka tidak hidup
terbatas di wilayahnya, sudah mengenal sistem barter antara kelompok pedalaman dengan pantai dan persebaran
kapak. Selain itu mereka juga menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain.
3.
Nilai Kesatuan
Adanya kesamaan bahasa Indonesia sebagai rumpun bahasa Austronesia, sehingga muncul kesamaan
dalam kosa kata dan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan teori perbandingan bahasa
menurut H.Kern dan benda- benda kebudayaan Pra Sejarah Von Heine Gildern.
Kecakapan berlayar karena menguasai pengetahuan tentang laut, musim, perahu,
dan astronomi, menyebabkan adanya kesamaan karakteristik kebudayaan Indonesia.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika lautan juga merupakan tempat tinggal
selain daratan. Itulah sebabnya mereka menyebut negerinya dengan istilah Tanah
Air.
4.
Nilai Musyawarah
Kehidupan bercocok tanam dilakukan secara bersama-sama.
Mereka sudah memiliki aturan untuk kepentingan bercocok tanam, sehingga
memungkinkan tumbuh kembangnya adat sosial. Kehidupan mereka berkelompok dalam
desa-desa, klan, marga atau suku yang
dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih secara musyawarah berdasarkan Primus Inter Pares (yang pertama di
antara yang sama).
5.
Nilai Keadilan Sosial
Dikenalnya pola kehidupan bercocok tanam secara
gotong-royong berarti masyarakat pada saat itu telah berhasil meninggalkan pola
hidup foodgathering menuju ke pola
hidup foodproducing. Hal ini
menunjukkan bahwa pada saat itu upaya kearah perwujudan kesejahteraan dan
kemakmuran bersama sudah ada.
Nilai-Nilai Pancasila Sebelum Kemerdekaan
Nilai-nilai esensial Pancasila sebelum disahkan tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI nilainya telah ada pada bangsayang terkandung
Indonesia sejak zaman dahulu berupa nilai-nilai Adat, Kemanusiaan, Persatuan,
Kebudayaan, Religius, Istiadat, Ketuhanan, Kerakyatan, Keadilan, telah dimiliki
bangsa Indonesia sejak bangsa Indonesia melaluiproses sejarah yang cukup
panjang, yaitu pada zaman Batu. Kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia mulai
tampakpada abad ke VII ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya, Airlangga dan
Majapahit serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400M, dengan
ditemukannya prasasti 7 Yupa. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut
mengadakan kenduri dan memberikan sedekah kepada Brahmana dan para Brahmana
membangun Yupa itu sebagai tanda terima kasih kepada Raja yang dermawan. Sosial
Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Politik Indonesia pertama kalinya
Kerajaan, menampilkan nilai-nilai Kenduri, berupa: Sedekah Ketuhanan Brahmana.
Pada abad ke VII muncullah sebuah kerajaan di Sumatera
yaitu kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat
dalam prasasti Kedukan Bukit. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan
pedagang pengrajin dan pegawai Raja yang disebut Tuha An Vatakvurah
sebagaipengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat mudah untuk
memasarkan barang dagangannya. Demikian pula dalam sistem pemerintahannya
kerajaan dalam menjalankan sistem pemerintahannya tidak dapat dilepaskan dengan
nilai Ketuhanan. Sedangkan agama dan kebudayaan dikembangkan dengan mendirikan
suatu Universitas agama Buddha.
Sebelum kerajaan Majapahit, muncul kerajaan- kerajaan
yang memancangkan nilai-nilai Nasionalisme. Muncul kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti. Di Kerajaan Isana, Jawa Tengah
muncul Kerajaan Kalingga (abad ke VII), Sanjaya pada (abad ke VIII), dan
Airlangga. Raja Airlangga Membangun bangunan Keagamaan dan Asrama sebagai sikap
toleransi dalam beragama Membuat Hubungan dagang dan kerja sama dengan
Benggala, Chola dan, Raja Airlangga Champa yang membuat tanggul, para
pengikutnya, rakyat, menunjukkan nilai-nilai dan waduk demi dan para Brahmana
bermusyawarah dan kemanusiaan kesejahteraan memutuskan untuk memohon pertanian
Rakyat.
Pada tahun 1293, berdirilah keraaan Majapahit yang mencapai
zaman keemasannya pada pemerintahan Raja Hayamwuruk. Pada waktu itu, agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan dalam satu Kerajaan, bahkan salah satu
bawahan kekuasaannya yaitu Pasai justru memeluk agama Islam. Toleransi positif
dalam beragama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang telah silam. Majapahit
menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak meninggalkan
nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara kebangsaan Indonesia 17
Agustus 1945. Namun, sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai memudar
dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaningbumi” pada
permulaan abad ke XVI (1520).
Pada abad XX di panggung politik internasional terjadi
pergolakan. Adapun pergolakan di Indonesia, dan dunia Timur dengan bangkit atas
suatu kesadaran kekuatan bangsa sendiri yaitu kebangkitan Nasional yang
dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomo-nya. Budi Utomo yang
dididirikan pada 20 Mei 1908, dan inilah yang merupakan pelopor pergerakan
Nasional, sehingga segera setelah itu muncullah organisasi-organisasi
pergerakan lainnya.
Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang
Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”. Agar mendapat dukungan
dari bangsa Indonesia, pemerintahan Jepang menjanjikan Indonesia Merdeka kelak
di kemudian hari. Pada tanggal 29 April 1945, Jepang memberikan hadiah ulang
tahun kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kedua pemerintah Jepang berupa
“kemerdekaan tanpa syarat” sebagai realisasi janji-janji tersebut maka dibentuklah
suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha- usaha periapan kemerdekaan
bangsa Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
Sidang ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1945-1 Juni
1945, pada tanggal 29 Mei 1945, dalam pidato Muh. Yamin, beliau mengusulkan
calon rumusan dasar negara negara Indonesia sebagai berikut: Pada tanggal 31
Mei 1945, dalam pidato Prof. Dr. Supomo mengemukakan Kebangsaan Kemanusiaan
Ketuhanan teori-teori negara sebagai berikut: Teori Negara Perseorangan
(Individualis), Paham Negara Peri Kesejahteraan Kelas (Class Theory), Paham Kerakyatan Rakyat Negara Integralistik. 5
Prinsip sebagai Dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno Pada tanggal 1
Juni 1945, diusulkan agar dinamakan Pancasila. Beliau juga mengusulkan dasar
negara yang terdiri atas 5 prinsip adalah sebagai prinsip Nasionalisme (Kebangsaan dasar filsafat negara
dan Indonesia), Internasionalisme (Peri pandangan hidup Bangsa Kemanusiaan),
Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan YME (Ketuhanan yang
berkebudayaan) .
Pada tanggal 22 Juni 1945, Ir. Soekarno mengadakan
pertemuan untuk membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang dan
dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Panitia ini mencapai suatu hasil yang
baik yaitu suatu modus atau persetujuan antara golongan Islam dan golongan
kebangsaan. Pada tanggal 11 Juli 1945 keputusan penting dalam rapat BPUPKI
kedua adalah menghendaki Indonesia Raya yang sesungguhnya yang mempersatukan
semua kepulauan Indonesia yang pada bulan Juli 1945 itu sebagian besar wilayah
Indonesia kecuali Irian, Tarakan dan Morotai yang masih dikuasai Jepang. Pada
tanggal 14 Juli badan penyelidik bersidang lagi dan melapirkan hasil
pertemuannya terdiri atas susunan UU yang terdiri dari 3 bagian.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, diadakan pertemuan di
Pejambon, Jakarta. Dan diperoleh kepastian bahwa Jepang telah menyerah , maka
Soekarno dan Hatta setuju untuk dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan yang
dilaksanakan di Jakarta. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, di
Jl.Pegangsaan Timur 56 Jakarta, pada hari Jum’at pukul 10.00 WIB, Bung Karno
dengan didampingi Bung Hatta membacakan naskah proklamasi dengan hikmat. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan
sidangnya yang pertama, dilanjutkan dengan sidang PPKI kedua, ketiga dan
keempat.
Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan Setelah proklamasi
kemerdekaan 17 agustus. Maklumat Wakil presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X
1945 ternyata bangsa Indonesia masih menghadapi kekuatan sekutu yang berupaya
menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Maklumat Pemerintah tanggal 3
Indonesia, yaitu pemaksaan untuk mengakui November 1945 pemerintah NICA. Untuk
melawan propaganda Belanda, Pemerintah RI mengeluaran tiga buah maklumat
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yakni: Keadaan demikian telah
membawa ketidakstabilan di bidang Politik. Akibat penerapan sistem parlementer
tersebut maka pemerintahan Negara Indonesia mengalami jatuh bangun kabinet sehingga
membawa konsekuensi yang sangat serius terhadapkedaulatan Negara Indonesia saat
itu.
Nilai-Nilai Pancasila Pasca Indonesia Merdeka
Latar belakang kehidupan para penggali Pancasila,
interaksinya dengan masyarakat dan suasana kebatinan kolonialisme yang dihadapi
kemudian diabstrasikan dalam rumusan-rumusan konsep mengenai (kemungkinan)
dasar bernegara. Adu konsep meniscayakan diskusi dalam sidang BPUPKI untuk
menghasilkan rumusan Pancasila, selain dimunculkannya istilah Pancasila, dialog
terjadi berkaitan dengan perumusan dasar negara untuk negara yang (akan)
merdeka. Pancasila dalam perumusannya mengalami pergumulan terutama berkaitan
dengan sila atau nilai mengenai ketuhanan. Perumusan nilai ketuhanan yang kemudian
dikenal dengan sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, yang rumusan awalnya
merupakan konsekuensi dari mayoritas tokoh muslim yang berada dalam BPUPKI. Dan
pergumulan rumusan akhir nilai ketuhanan, oleh Soepomo dikatakan sebagai
penyelesaian yang merupakan akibat gentlemen
agreement antara kelompok nasionalis dan kelompok agama.
Pancasila yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sah menjadi dasar negara Indonesia
(baru). Pasca kemerdekaan, aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara seolah mengalami kemorosotan. Kemerosotan dimaksud bahwa diskusi
untuk merefleksi dasar negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tidak mendapatkan ruang yang cukup. Kondisi tersebut disebabkan fokus kehidupan
berbangsa diarahkan pada mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi agresi kolonial.
Meski demikian, terdapat kondisi yang menarik ketika terjadi pergolakan politik
di Indonesia, Pancasila tidak mengalami pergeseran dalam setiap konstitusi yang
dihasilkan sebagai respon atas pergolakan politik. Artinya tidak ada usaha
untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang diletakkan pada saat
persiapan (tanggal) kemerdekaan Indonesia.
Pancasila ‘dibangunkan’ dari tidur panjangnya ketika
Indonesia mengalami berbagai pergolakan politik ketika Soeharto berhasil
mengambil alih kekuasaan pasca tahun 1965. Pengalaman instabilitas politik dan
kemorosotan ekonomi menjadi dalih bagi Soeharto untuk memulihkan pasca gejolak
politik menggunakan Pancasila basis legitimasi penggunaan kekuasaan. Soeharto
menggunakan istilah Demokrasi Pancasila untuk memperoleh kesan kuat, bahwa
dirinya adalah seorang yang memegah teguh Pancasila. Namun dalam praktek
penggunaan kekuasaannya, Pancasila sekedar menjadi teks tertulis yang mati dan
melahirkan jurang pemisah antara teks dan kenyataan. Sila-sila Pancasila hanya
menjadi alat indoktrinasi atau propaganda untuk memberi efek takut bagi para
penentang kebijakan pembangunan yang dilakukan.
Pancasila menjadi kedok penyimpangan yang dilakukan oleh
Orde Baru. Tameng legitimasi bagi berbagai hal untuk melaksanakan pembangunan,
menghasilkan keserakahan dan aneka pelanggaran yang menjauh dari nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Meski stabilitas politik tercapai dan pembangunan
ekonomi dapat teraih, namun kebebasan dan hak-hak warga negara yang diatur
dalam konstitusi dilaksanakan berdasarkan tafsir sepihak hanya untuk memuaskan
dahaga kekuasaan dan melanggengkannya. Kebebasan dibatasi dan melahirkan
tekanan politik bagi aktivis demokrasi yang menghendaki partisipasi politik
dalam proses pembangunan. Dimana pembangunan dilakukan dengan melanggar HAM
warga negara, dan negara bergeming untuk mempertimbangkan manusia/warga negara
yang menjadi korban pembangunan yang diatasnamakan dengan Pancasila.
Gugatan terhadap pelaksanaan Pancasila versi Orba
mengalami puncaknya pada Mei 1998. Dipicu oleh krisis ekonomi, gerakan
mahasiswa dan kekuatan anti Soeharto memaksa lengser keprabon dan menyerahkan kursi kepresiden kepada wakilnya.
Pelanggaran HAM dan keterbatasan partisipasi politik yang berkelindan dengan
krisis moneter melahirkan semangat perjuangan anti Soeharto yang memerintah
tidak dengan demokratis. Kebebasan (politik) yang diperjuangkan dan berhasil
pada tahun 1998 harus mampu menyuburkan internalisasi dan aktulaisasi
nilai-nilai Pancasila. Membuka kembali ruang diskursus untuk mendalami semua
gagasan yang terkandung dalam Pancasila, dan meletakkannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Menempatkan Pancasila kembali dalam diskursus keseharian
akan dipandang sebagai alien karena stigma negatif Pancasila dari hasil
penafsiran Pancasila yang sepihak pada masa orde baru. Tafsir ulang yang tidak
sekedar partisipatif yang dimotori oleh negara/pemerintah, melainkan pemahaman
dari hasil deliberasi dalam mengartikulasi nilai-nilai Pancasila. Kebebasan
politik yang sudah digenggam dalam manifestasi partisipasi politik dan otonomi
daerah harus diarahkan untuk memperkuat basis pemikiran mengenai Pancasila.
Pancasila yang tidak hanya didasarkan pada tafsir penguasa seperti dipraktekkan
selama ini, melainkan menggali kembali nilai-nilai Pancasila yang berkembang di
masyarakat. Sehingga Pancasila terus mengalami artikulasi dalam kehidupan
keseharian dan tetap membumi, tidak teralienasi dari nilai-nilai (yang masih)
dianut oleh masyarakat Indonesia.
Pancasila Dalam Era Reformasi
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998,
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan
wakil presiden BJ Habibie. Pengunduran diri ini ialah dampak dari ketidakpuasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu yang juga
disusul dengan krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia
melemah. Ketidakpuasan masyarakat ini dituangkan melalui demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai organisasi aksi mahasiswa di
berbagai wilayah Indonesia.
Tragedi Trisakti adalah salah satu tragedi puncak
jatuhnya rezim Soeharto. Tragedi Trisakti yang meletus pada tanggal 12 Mei 1998
memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas
hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun
dari luar negeri, akhirnya kekuasaan Soeharto dapat ditumbangkan, ia akhirnya
memilih mengundurkan diri dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32
tahun.
Menurut Panitia Lima (Bung Hatta, Subardjo, Maramis,
Sunarjo, Pringgodigdo) Pancasila dapat dipahami bukan hanya dengan membaca
teksnya, melainkan dengan mempelajari terjadinya teks itu. Fleksibilitas
Pancasila yang akan mampu membingkai nasionalisme menjadi aset penting bagi
kehidupan era ini, sebab anekaragam sosial dan kemajemukan budaya (agama, suku,
geografis, pengalaman sejarah) dan kehidupan paradoks butuh ”kesadaran bersama
yang baru secara rohaniah” sebagai bangsa.
Jika mencermati keberadaan Pancasila dalam kehidupan
politik yang banyak mengalami perubahan konstitusional dan rezim kekuasaan
(1945-1978) Pancasila selalu dipertahankan. Menurut Yamin (1959), hal demikian
memperlihatkan Pancasila mengandung kenyataan yang hidup dan tumbuh dalam
sanubari orang per orang dalam masyarakat, sehingga Pancasila selalu
dipertahankan oleh rakyat Indonesia yang mendukung tiap-tiap negara nasional
yang lahir di atas bumi tumpah darah Indonesia. Dengan Pancasila rakyat
Indonesia telah bersatu dalam revolusi dan dalam perjuangan sejak hari
proklamasi. Pancasila merupakan kristalisasi daripada intisari perjuangan kemerdekaan
nasional di abad ke-20.
Menurut Sartono Kartodirdjo, Pancasila akan menjadi
penentu dalam orientasi tujuan sistem sosial-
politik, kelembagaan dan kaidah-kaidah pola kehidupan, yang bukan hanya
menjadi faktor determinan, juga sebagai payung ideologis bagi pelbagai unsur
dalam masyarakat yang bersifat majemuk.
Pancasila sebagai asas kerohanian dibutuhkan era ini yang
karakternya memperlihatkan euforia
keanekaragaman dan kejamemukan dengan corak paradoks (nilai-nilai budaya yang
mengontrol) serta ketegangan antara kesadaran dan kolektivisme dalam
penyesuaian (dimana individualisme tanpa kolektivisme akan merusak sedang
kolektivisme tanpa individualisme akan menghancurkan).
Fleksibilitas Pancasila yang akan mampu membingkai
nasionalisme menjadi sebagai aset penting bagi kehidupan era ini, sebab
anekaragam sosial dan kemajemukan budaya (agama, suku, geografis, pengalaman
sejarah) dan kehidupan paradoks butuh ”kesadaran bersama yang baru secara
rohaniah” sebagai bangsa.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki
kekuatan mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer
seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena
rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus
dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi
kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan
kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis
ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang
berpotensi disintegrasi, dan segregasi
sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan
dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual,
komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Melihat perilaku sebagaian besar elit politik kita
sekarang yang sangat pragmatis, feodalistik, dan materialis, serta tidak lagi
dominan menggunakan ideologi Pancasila sebagai pendekatan imperatif dalam kerja
politik mereka hampir pada semua level dan kelembagaan politik serta dalam
membuat dan mengawasi produk perundang-undangan, kelihatannya masa depan
reformasi dan demokratisasi, integrasi politik, serta kebangsaan Indonesia
seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, masih unpredictable.
0 komentar:
Posting Komentar