Pengantar
Materi ini akan menjelaskan
tentang apa yang disebut CS, sejarah dan perkembangan CS, pilar-pilar penegak
CS, keterkaitan CS dengan proses demokrasi serta kemungkinan CS di Indonesia.
Di akhir perkuliahan diharapkan
dapat dijelaskan konsep CS, mengaplikasikan nilai-nilainya, menganalisis posisi
CS dalam negara serta dapat mengkritisi segala bentuk fenomena yang menyimpang
dari nilai-nilai CS, terutama fenomena yang terjadi dan berkembang di
Indonesia.
Maksud CS
Sebagai sebuah wacana
kontemporer, sampai hari ini belum ada kesepakatan mengenai rumusan teoritis
dan konsep yang baku tentang konsep CS. Oleh karena itu, dalam mendefenisikan
CS sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Mengingat pula
bahwa konsep CS merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah
pergulatan bangsa Eropah Barat.
Sebagai titik tolak, dapat
dilihat beberapa defenisi yang berangkat dari latar sosio-kultural di berbagai
negara yang menganlisis dan mengkaji fenomena CS, yaitu ;
1. Zbigniew Rau, dengan latar belakang kajian
di Eropah Timur dan Uni Sovyet. CS merupakan suatu masyarakat yang berkembang
dari sejarah, yang mengandalkan ruang, dimana individu dan perkumpulan tempat
mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka
yakini. CS adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara, yang ekspresinya digambarkan dengan ciri-ciri ; individualisme, pasar
dan pluralisme.
2. Han Sung-Jo, dengan latar belakang kasus
Korea Selatan. CS merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin
hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu
ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warganegara
yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui
norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk
serta kelompok inti.
Konsep Han ini menekankan pada
adanya ruang publik (public sphere) serta mengandung empat ciri dan
prasyarat bagi terbentuknya CS;
(1)
Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat
serta mandiri dari negara.
(2)
Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam
mengartikulasikan isu-isu politik.
(3)
Terdapatnya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada
nilai-nilai budaya tertentu.
(4)
Terdapat kelompok pertengahan yang mengakar dalam masyarakat yang
menggerakan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial ekonomi.
3. Kim Sunhyuk, dalam konteks Korea Selatan.
CS adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif
otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dari dari (re) produksi dan
masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang
publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan
mereka menurut prisip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Defenisi ini menekankan pada
adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang relatif memposisikan secara
otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi organisasi-organisasi ini
mensyaratkan adanya ruang publik (public sphere) yang memungkinkan untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Secara global batasan di atas
dapat disimpulkan bahwa CS adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang
berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik
dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Di Indonesia, terma CS
mengalami penterjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda
pula, seperti;
1. Masyarakat Madani
Adalah sistem sosial yang subur
yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan
mengikuti UU dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan (predictability)
serta ketulusan atau transparansi (transparency) sistem.
Konsep masyarakat madani adalah
sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengkedepankan toleransi, demokrasi
dan berkeadaban. Disisi lain masyarakat madani mensyaratkan adanya toleransi
dan menghargai akan adanya pluralisme (kemajemukan).
2. Masyarakat Sipil
Merupakan penurunan langsung
dari terma CS. Istilah ini banyak dikemukakan oleh Mansour Fakih untuk
menyebutkan prasyarat dan negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara
mendasar baru dan lebih baik.
3. Masyarakat Kewargaan
Konsep ini merupakan respon
dari keinginan untuk menciptakan warganegara sebagai bagian integral negara
yang mempunyai andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan negara (state)
4. Civil Society
Adalah wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi yang bercirikan antara lain; kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan kewadayaan (self-supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan dengan
norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Sebagai ruang politik, CS
merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan
refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material dan tidak
terserap di jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.
Sejarah Dan Perkembangan CS
Wacana CS merupakan konsep yang
berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropah Barat yang
mengalami transformasi dari kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat
industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan
wacana CS dapat dirunut dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan
de’ Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato
serta M. Dawam Rahardjo, wacana CS sudah mengemuka pada masa Aristoteles.
Pada masa tersebut (384-322) CS dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah Koinonia Politike, yakni sebuah komunitas politik
tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik
dan pengambilan keputusan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis dimana warganegara di dalamnya berkedudukan sama di
depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang
disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai
substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di
antara warganegara.
Konsepsi Aristoteles tersebut
kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societies
Civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominsi komunitas yang lain. Terma
yang dikedepankan oleh Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city
state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi
lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi CS yang aksentuasinya
pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679)
dan Jhone Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, CS harus memiliki kekuasaan
mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola
interaksi (perilaku politik) setiap warganegara. Sementara menurut Locke,
kehadiran CS dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap
warganegara. Konsekuensinya adalah CS tidak boleh absolut dan harus membatasi
perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang
yang manusiawi bagi warganegara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proporsional.
Pada tahun 1767 CS dikembangkan
oleh Adam Perguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik
Skotlandia. Perguson menekankan CS pada sebuah visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. Pemahaman ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial
yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta
mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsep ini diharapkan
bahwa publik memiliki spirit untuk untuk menghalangi munculnya kembali
depotisme, karena dalam CS itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh
sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar
warganegara secara alamiah.
Pada tahun 1792 wacana CS
memiliki aksentuasi berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas
Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah CS sebagai kelompok masyarakat
yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai
antitesis dari negara. Oleh sebab itu, negara harus dibatasi sampai
sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Maka CS diartikan sebagai ruang dimana warga
dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya
suatu gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di
dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh
karenanya, maka CS harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi
kebutuhannya.
Pengembangan selanjutnya
dilakukan oleh GWF HegelI (1770-1831), Karl Mark (1818-1883) dan Antonio
Gramsci (1891-1837). Wacana CS menekankan pada CS sebagai elemen ideologi
kelas dominan. Pemahaman ini lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang
dilakukan oleh Paine (CS sebagai bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel,
CS merupakan kelompok sub-ordinatif dari negara. Pemahaman tersebut, menurut
Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropah yang
pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara.
Menurut Hegel, struktur sosial
terbagi atas tiga entitas; keluarga, CS dan negara. Keluarga merupakan ruang
sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. CS
merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan
pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan
representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik
warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap CS. Oleh karenanya, maka
intervensi negara terhadap wilayah masyarakat bukanlah merupakan tindakan illegitimate,
karena negara merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara
politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, CS pada kenyataannya
tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan
keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada institusi
yang lebih tinggi, yakni negara, maka negara dan CS merupakan dua entitas yang
saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Mark memahami CS
sebagai ‘ masyarakat borjuis’ dalam konteks hubungan produksi kapitalis,
keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Oleh
sebab itu, ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara Gramsci tidak memahami CS sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada
sisi ideologis. Bila Mark menempatkan CS
pada basis material, maka Gramsci meletakkannya pada suprastruktur,
berdampingan dengan negara yang disebut sebagai political society. CS
merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan negara. Di
dalamnya aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam
masyarakat.
Karakteristik CS
Penyebutan karakteristik CS
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana CS diperlukan
prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan CS. Prasyarat
tersebut merupakan kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi
eksistensi CS.
1. Free Public Sphere
Adalah adanya ruang publik yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang
bebaslah, individu dalam posisinya yang setara, mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran.
Secara teoritis ruang publik
dapat diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warganegara memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warganegara berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul dan
mempublikasikan informasi kepada publik.
2. Demokratis
Demokratis berarti masyarakat
dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya
dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Bahkan demokratis merupakan
salah satu syarat mutlak bagi penegakan CS. Penekanan demokrasi (demokratis)
mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti; politik, sosial, budaya
pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
3. Toleran
Toleran menunjukkan sikap
saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain.
Toleransi memberi kemungkinan adanya kesadaran masing-masing individu untuk
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat lain yang berbeda.
4. Pluralisme
Pluralisme merupakan pertalian
sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme
pengawasan dan pengimbangan.
5. Keadilan Sosial
Keadilan dimaksudkan untuk
menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan
kewajiban setiap warganegara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Secara
esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Pilar Penegak CS
Pilar CS adalah
institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang
berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta
mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan CS
pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan CS.
1. Lembaga Swadaya Masyarakat
Merupakan institusi sosial yang
dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. LSM bertugas mengadakan empowering
(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti; advokasi, pelatihan dan sosialisasi
program-program pembangunan masyarakat.
2. Pers
Merupakan institusi yang
terpenting dalam penegakan CS, karena memungkinkan dapat mengkritisi dan
menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisis serta
mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan
warganegaranya.
3. Supremasi Hukum
Setiap warganegara harus tunduk
kepada aturan (hukum). Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan
hak dan kebebasan antar warga negara dan antara warganegara dengan pemerintah,
haruslah dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Selain itu, supremasi hukum
juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan
individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk
penindasan asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
4. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki tugas
utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk
dapat menjawab problematika yang
dihadapi oleh masyarakat. Disisi lain PT memiliki Tri Dharma PT yang harus
dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat (public).
PT memiliki tiga peran
strategis dalam mewujudkan CS, yaitu ;
(1)
pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang
menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis.
(2)
membangun political safety net, yakni dengan
mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak
manipulatif. Political safety net tersebut setidaknya dapat mencerahkan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
(3)
melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara
santun, saling menghormati, demokratis serta meninggalkan cara-cara yang
agitatif dan anarkis.
5.
Partai Politik
Merupakan wahana bagi
warganegara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki
tendensi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai
sebuah tempat ekspresi politik warganegara, maka Parpol tersebut menjadi
prasyarat bagi tegaknya CS.
CS Dan Demokratisasi
Dalam CS, warganegara
bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan bersama (public
good), karena itu tekanan sentral CS adalah terletak pada independensinya
terhadap negara (vis a vis the state). Dari sini CS dapat dipahami
sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
CS juga dipahami sebagai sebuah
tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warganegara atas
dasar prinsip saling menghormati. CS berkeinginan membangun hubungan yang
konsultatif bukan konfrontatif antar warga dan negara. CS juga tidak hanya
bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan
kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan
semua warganegara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama.
Rahardjo melihat hubungan CS dengan
demokrasi bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya
dalam CS yang kuat, demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam
suasana demokratislah CS dapat berkembang secara wajar.
Dalam konteks ini, Madjid
memberikan metafor hubungan tersebut sebagai; CS sebagai rumah persemaian
demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilu yang bebas dan rahasia. Namun
demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus
mempunyai rumah, maka rumahnya adalah CS.
Ada keterkaitan yang secara sistematis
menyebutkan enam kontribusi CS terhadap proses demokratisasi menurut Larry
Diamond, yaitu ;
1.
CS menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi,
kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara.
2.
Pluralisme dalam CS bila diorganisasi akan menjadi dasar
yang penting bagi persaingan demokratis.
3.
Memperkaya parisipasi politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan.
4.
Ikut menjaga stabilitas negara.
5.
Tempat menggembleng pimpinan politik dan
6.
Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat
runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan CS yang kuat
dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi
penguatan CS lebih ditujukan kearah pembentukan negara secara gradual dengan
suatu masyarakat politik yang demokratis-partisipatoris, reflektif dan dewasa
yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol atas kecenderungan eksesif negara.
Dalam CS, warganegara disadarkan posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan
haknya untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatas-namakan rakyat.
Gagasan seperti itu mensyaratkan adanya ruang publik yang bebas, sehingga
setiap individu dalam CS memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan
kemampuannya dalam pengelolaan wilayah.
Berkaitan dengan demokratisasi
ada beberapa asumsi yang berkembang, yaitu ;
1.
Demokratisasi bisa berkembang, apabila CS menjadi kuat
baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri, melalui perlawanan
terhadap negara ataupun melalui proses pemberdayaan (termasuk oleh pemerintah).
2.
Demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan
negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan efisiensi
institusi melalui interaksi, perimbangan dan pembagian kerja yang saling
memperkuat antara negara dan pemerintah sendiri.
3.
Demokratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan
kemandirian atau independensi CS dari tekanan kooptasi negara.
Kemungkinan CS Berkembang Di Indonesia
CS secara sepintas dipahami
merupakan format kehidupan alternatif yang mengkedepankan semangat demokrasi
dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Hal tersebut diberlakukan ketika negara
(sebagai penguasa dan pemerintah) tidak dapat menegakkan demokrasi dan HAM
dalam menjalankan roda pemerintahannya. Disini kemudian konsep CS menjadi
alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang mampu merealisasikan dan
menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai HAM.
Ada tiga strategi yang dapat
digunakan dalam memberdayakan CS di Indonesia, yaitu;
1.
Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan
politik.
Strategi ini berpandangan bahwa
sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki
kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini,
pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik dan karena itu
menjadi sumber instabilitas politik.
Saat ini yang diperlukan adalah
stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, lebih-lebih yang terbuka
terhadap perekonomian global, membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan
demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari demokrasi.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik
demokrasi.
Strategi ini berpandangan bahwa
untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunana
ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi
yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka
kelembagaan tersebut diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul CS yang
mampu mengontrol negara.
3.
Strategi yang memilih membangun CS sebagai basis yang
kuat ke arah demokratisasi.
Strategi ini muncul akibat
kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan demikian,
strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama
pada golongan menengah yang makin luas.
Tugas Rumah
1.
Diskusikan dengan teman-teman saudara mengenai berbagai
fenomena pelanggaran demokrasi dan HAM diberbagai negara ?
2.
Apa yang dimaksud dengan CS ?
3.
Bagaimana perkembangan CS di Indonesia ?
4.
Menurut anda, bagaimana CS dapat terwujud, jelaskan ?
5.
Apakah bisa model CS Barat diterapkan di Indonesia yang
Timur?
6.
Sebutkan salah satu contoh CS yang berkembang disuatu
Negara?
Bahan Bacaan
Azra, Azyumardi. (1999). Menuju masyarakat madani. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Budiman, Arief. (1990). State and civil society. Clayton:
Monash Paper Southeast Asia Nomor 22 tahun 1990.
Deden, M. Ridwan dan Nurjulianti, Dewi (Penyunting).
(1999). Pembangunan masyarakat madani dan tantangan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: LSAF.
Gelner, Ernest. (1995). Membangun masyarakat sipil,
prasyarat menuju kebebasan. Bandung: Mizan.
Hikam, Muhammad AS. (1999). Demokrasi dan civil
society. Jakarta: LP3ES.
Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA, Volume I Nomor 2 tahun 1999.
Madjid, Nuscholish. (tt). Makalah asas-asas pluralisme
dan toleransi dalam masyarakat madani. t.t.
Mahfud, Moh, MD. (1999). Hukum dan pilar-pilar
demokrasi. Yogyakarta: Gamma Media.
Rahardjo, M, Dawam. (1999). Masyarakat madani ; agama,
kelas menengah dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES.
Rizal, Sukma dan J, Kristiadi. (1999). Hubungan
sipil-militer dan transisi demokrasi di Indonesia; persepsi sipil dan militer. Jakarta:
CSIS.
Suseno, Franz Magnis. (1997). Mencari sosok demokrasi,
sebuah telaah filosofis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Usman, Widodo, dkk. (2000). Membongkar mitos
masyarakat madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar