Pengantar
Materi ini akan mempelajari hubungan
agama dan negara, yang bertujuan agar mahasiswa dapat menjelaskan konsep agama
tentang negara. Diharapkan juga mahasiswa dapat menjelaskan hubungan agama dan
negara.
Akhir dari materi ini, ditargetkan
mahasiswa dapat membedakan hubungan agama dan negara di Indonesia pada tiga
masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi melalui
kebijakan-kebijakan politik mengenai agama.
Keperluan Manusia Dengan Agama
Menurut kodratnya, manusia dalam
hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya.
Manusia selalu merasa bahwa di luar dirinya terdapat suatu kekuatan yang tidak
mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan seperti
ini, biasa disebut dengan beragama.
Manusia beragama karena memerlukan
sesuatu dari agama tersebut. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akherat. Dengan agama, manusia juga bisa
mendapatkan nilai-nilai moral yang universal dan hal-hal yang tidak dapat
dicapai dengan akalnya semata. Mungkinkah manusia hidup secara lebih baik tanpa
agama ? jika manusia perlu beragama, apakah manusia juga perlu bernegara ?
Keperluan Manusia Dengan Negara
Pada mulanya, manusia hidup
sendiri-sendiri, yang selanjutnya karena tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya tersebut, manusia memerlukan teman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu mereka bergabung dengan dengan manusia-manusia yang lain.
Perkembangan selanjutnya, karena jumlah mereka semakin banyak, maka diperlukan
pemimpin dan aturan-aturan yang disepakati.
Kemudian juga diperlukan
fasilitas-fasilitas untuk memudahkan jalannya kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, mereka membuat aturan-aturan untuk mereka sepakati bersama dalam
kehidupan. Mereka juga membagi tugas setiap orang atau setiap kelompok agar
semua urusan dapat ditangani tanpa ada penumpukan tugas pada seseorang saja.
Simpulan terakhir adalah bahwa manusia
tidak akan dapat hidup dengan teratur tanpa adanya negara. Mereka juga tidak
akan hidup dengan tertib dan menjamin keamanan bersama, tanpa adanya negara.
Tanpa adanya wilayah, ketertiban umum bagi masyarakat juga tidak mungkin
terjamin. Jadi apa perlunya orang bernegara?
Hubungan Agama Dan Negara
Hubungan agama-negara cukup
banyak menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli.
Negara pada hakekatnya, merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai
penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Oleh karena sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara
pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal
dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, negara memiliki sebab-akibat langsung dengan manusia, karena
manusia adalah pendiri negara itu sendiri.
Hal-hal yang berkaitan dengan
negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan
tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari tuhan. Oleh karena itu
ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.
Dasar Ontologis Hubungan Negara-Agama
Konsep hubungan negara dan agama sangat
ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat
mempengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia.
1. Menurut Paham Teokrasi
Menurut paham ini, negara menyatu
dengan agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman tuhan
(segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara). Dengan demikian,
urusan kenegaraan atau politik, diyakini sebagai manifestasi firman tuhan.
Ada dua sistem dalam paham ini, yaitu
teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung.
Jika dalam pemerintahan teokrasi langsung, raja atau kepala negara
memerintah sebagai jelmaan tuhan, maka dalam pemerintahan teokrasi tidak
langsung, yang memerintah bukanlah tuhan sendiri, tetapi raja atau kepala
negara yang memiliki otoritas atas nama tuhan. Kepala negara diyakini
memerintah atas kehendak tuhan.
Dalam pemerintahan teokrasi tidak
langsung, sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan berdasarkan
fiman-firman tuhan. Dengan demikian, negara menyatu dengan agama. Agama dan
negara tidak dapat dipisahkan.
2. Menurut Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan
membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan
antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan
hubungan manusia dengan manusia lain (urusan dunia). Sedangkan agama adalah
hubungan manusia dengan tuhan.
Dalam nagara sekuler, sistem dan
norma-norma hukum positif dipisahkan dengan nilai-nilai dan norma agama.
Norma-norma dan hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan
atas agama atau firman-firman tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan
dengan norma-norma agama. Negara sekuler membebaskan pemeluknya untuk memeluk agama
apa saja yang diyakini, tapi tidak ikut campur tangan dalam urusan agama.
3. Menurut Paham Komunis
Komunisme memandang hakekat
hubungan negara dan agama berdasarkan filosofi materialisme dialektis dan materialisme
historis. Paham ini menimbulkan paham ateis (tidak bertuhan), yang dipelopori
oleh Karl Marx (agama sebagai candu). Manusia ditentukan oleh dirinya sendiri.
Agama dalam paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia
sebelum menemukan dirinya sendiri.
Manusia adalah dunia manusia sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai
realisasi fantastis makhluk manusia dan agama adalah keluhan makhluk tertindas.
Oleh karena itu, agama harus ditekan bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi
dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah
materi.
4. Menurut Islam
Ada tiga aliran menurut Syadzali
(1990;235-236) ;
1.
Aliran
yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup
segala-galanya, oleh karena itu agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan
urusan negara adalah urusan negara, begitu sebaliknya.
2. Islam tidak ada hubungannya dengan
negara, kaena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan.
(tidak punya misi untuk mendirikan negara).
3. Islam tidak mencakup segala-galanya,
tetapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan
bermasyarakat, termasuk bernegara.
Sementara Muhammad (2000;88-94).
Menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan agama dan negara. Model
pertama, disebut sebagai hubungan integralistik, dan hubungan kedua disebut
sebagai hubungan simbiosis-mutualistik.
Hubungan integralistik diartikan sebagai
hubungan totalitas, karena agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Konsep ini
menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik atau negara (sama dengan konsep teokrasi).
Sedangkan hubungan simbiosis-mutualistik,
ditegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling
membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik.
Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama,
sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.
Kebijakan Politik Tentang Agama
Menurut Anwar (1995), untuk dapat
membantu memahami lebih sistematis tentang hubungan agama-negara (format
hubungan Islam dan birokrasi) dalam kurun 1966-1993, ada tiga periodesasi ;
1.
Periode
awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan hegemonik antara
Islam dan pemerintah orde baru. Periode ini, ditandai dengan kuatnya negara
yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalangan
masyarakat. Pada periode ini timbul penolakan-penolakan umat Islam terhadap
konsep modernisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga meimbulkan
ketegangan-ketegangan di antara kedua lembaga tersebut. Inilah yang Effendi
(1998 ; 61) disebut hubungan tidak serasi antara Islam dan negara.
2.
Periode
kedua, adalah periode 1980-an, dimana hubungan Islam dan birokrasi bersifat
resiprokal (yaitu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian
timbal balik serta pemahman di antara kedua belah pihak). Soal politik,
misalnya, diselesaikan bersama dan diharapkan dapat mempertemukan
kepentingan-kepentingan masing-masing. Dalam periode resiprokal ini, timbul
kesadaran pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa
dikesampingkan. Tindakan memarginalkan Islam adalah tindakan yang tidak
menguntungkan. Jajaran birokrasi menyadari bahwa para intelektual Islam
mempunyai potensi yang amat signifikan dalam pembangunan bangsa. Pola ini
disebut Thaba (1996 ; 164) hubungan bersifat resiprokal kritis.
3.
Dekade
1990-an. Berkat artikulasi dan peranan cendikiawan Muslim, hubungan Islam dan
Orde Baru berkembang menjadi akomodatif. Hal tersebut ditandai dengan semakin
responsifnya kalangan birokrasi dan sejumlah kebijakan yang akomodatif bagi
umat Islam.
Kebebasan politik, yang ditandai
dengan munculnya 48 parpol peserta pemilu 1998-1999, merupakan salah satu
indikator bahwa pemerintah mengurangi intervensi politik kepada warganegara.
Hal inipun masuk dalam sektor agama (kebebasan pemeluk mengamalkan ajaran agama).
Tugas Rumah
1.
Dalam
kehidupannya di dunia, manusia sangat memerlukan agama. Jelaskan, mengapa
agama-agama begitu penting dalam kehidupan manusia?
2. Suatu negara tidak langsung ada dengan
sendirinya, tetapi melalui proses yang cukup panjang. Jelaskan bagaimana proses
terbentuknya suatu negara itu?
3. Negara
dan agama mempunyai
hubungan yang cukup kuat,
apakah fungsi negara
bagi keberadaan suatu agama ?
4. Suatu kelompok masyarakat dalam
kehidupannya tidak memerlukan adanya negara. Bagaimana tanggapan anda tentag
pernyataan yang demikian itu?
5. Ada beberapa paham tentang hubungan agama
dan negara, jelaskan perbedaan paham teokrasi langsung dan teokrasi tidak
langsung mengenai hubungan agama dan negara?
6. Jelaskan pula perbedaan paham sekuler dan
paham komunisme mengenai hubungan agama dan negara?
7. Dalam Islam ada berapa pola tentang
hubungan agama dan negara, dan jelaskan pola-pola tersebut ?
Bahan Bacaan
Abdillah, Masykari. (1999).
Demokrasi dipersimpangan makna ; respon intelektual muslim Indonesia
terhadap konsepsi demokrasi 1966-1993. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Al Ghazali, Abu Hamid.
(tt). Al iqtishad fi al I’tiqad. Beirut: Dar El Fikr.
Al Mawardi. (tt). Al
ahkam al sulthaniyah. Beirut: Dar El Fikr.
Anwar, M. Syafi’i. (1995). Pemikiran
dan aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Azra, Azyumardi. (1996). Pergolakan
politik Islam ; dari fundamentalisme, modernisme hingga post-modernisme. Jakarta:
Paramadina.
Bahtiar, Effendi. (1998). Islam
dan negara. Jakarta: Paramadina.
Dahl, Robert, A. (1989). Democracy
and its ctitics. New Haven/London: Yale University Press.
Gaffan, Affan. (1993). Demokrasi
politik (makalah seminar Perkembangan Demokrasi di Indonesiasejak 1945). Jakarta:
Widyagraph LIPI.
Ismail, Faisal. (1999). Ideologi
hegemoni dan otoritas agama, wacana ketegangan kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kaelani. (1999). Pendidikan
Pancasila, yuridis kenegaraan. Yogyakarta: Paramadina.
Maarif, Ahmad Syafi’i. (1985).
Islam dan masalah kenegaraan, studi tentang percaturan dalam konstituante. Jakarta:
LP3ES.
Leahy, Louis, SJ. (1985). Aliran-aliran
besar atheisme. Yogyakarta: Kanisius.
Madjid, Nurcholis. (1995). Agama-agama
dalam Islam, telaah kritis atas fiqhi siyasah Sunni dalam Budhy Munawar Rachman
(Ed), Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina.
Muhammad, Hussein. (2000). Islam
dan negara kebangsaan ; tinjauan politik dalam Ahmad Suaedy ; Pergulatan
Pesantren dan Demokrasi. Yogyakarta: LkiS.
Sjadzali, Munawir. (1990). Islam
dan tata negara. Jakarta: UI Press.
Soekarno. (1964). Apa
sebab Turki memisahkan agama dari negara Dalam ; di bawah bendera
revolusi. Edisi e Volume I, Jakarta: Gunung Agung.
Suseno, Frans Magnis.
(1997). Mencari sosok demokrasi, sebuah telaah filosofis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Thaba, Abdul Aziz. (1996). Islam
dan negara. Jakarta: Gema Insani Press.
0 komentar:
Posting Komentar